Di keheningan malam itu, saat jarum jam hampir menunjukkan pukul dua pagi, suara lemah itu kembali terdengar.
"Jangan paksakan dirimu, Xyon..." suara Xienna terdengar begitu rapuh, seperti bisikan angin malam. "Aku... sebentar lagi aku... mungkin saja akan..."
Suara itu memudar sebelum kalimatnya selesai, menghilang bagai kabut yang tertiup angin. Jantung Xyon seolah berhenti berdetak, ketakutan mencengkeram dadanya dengan kejam.
"Tidak!" serunya panik, meraih tubuh panas Xienna ke dalam pelukannya. "Jangan berani-berani kau mengucapkan hal seperti itu! Jangan pernah!"
Air mata mengalir di pipinya, jatuh membasahi wajah Xienna yang masih tertidur. Ruby di leher kekasihnya berkedip lemah, sangat lemah, seperti nyala lilin yang hampir padam.
"Kumohon," bisiknya parau, menempelkan keningnya ke kening Xienna yang panas. "Kumohon jangan menyerah. Kau tidak boleh meninggalkanku... tidak boleh..."
Xyon memeluk Xienna lebih erat, seolah dengan begitu dia bisa mencegah jiwa kekasihnya pergi. Tubuh dalam pelukannya terasa begitu panas, seperti bara api yang membara.
"Kau masih punya banyak hal yang belum kau lihat," ujarnya di sela isakan. "Rumah kaca itu... aku belum memberitahumu tentang mawar merah di tengahnya. Itu... itu untukmu, Xienna. Aku menanamnya di sana sebagai simbol cintaku padamu."
Tangannya yang gemetar membelai rambut Keemasan Xienna. "Dan kau belum melihat kamar barumu... kamar yang kusiapkan di sayap utara istana. Tepat di sebelah kamarku... karena aku ingin kau selalu dekat denganku."
Ruby di leher Xienna masih berkedip lemah, tapi Xyon bersumpah dia melihat kilau itu sedikit menguat saat air matanya jatuh ke permata itu.
"Kau juga belum melihat kebun rahasia di belakang istana," lanjutnya, suaranya bergetar. "Tempat di mana aku menanam semua bunga kesukaanmu. Lily putih, mawar biru, dan terutama... bunga favoritmu, Bleeding Heart."
Xyon mengecup kening Xienna yang panas. "Dan kau belum membaca semua surat yang kutulis untukmu selama kau tertidur. Surat-surat yang berisi semua kata cinta yang tak pernah sempat kuucapkan..."
"Jadi kumohon," bisiknya putus asa, "jangan bicara seolah kau akan pergi. Karena aku tidak bisa... aku tidak akan bisa hidup tanpamu, Xienna."
Di luar, awan gelap mulai menutupi bulan, seolah langit ikut berduka mendengar kepedihan dalam suara sang raja vampir. Salju turun lebih lebat, membawa hawa dingin yang menusuk tulang.
"Aku mencintaimu," Xyon terus berbisik, seperti mantra yang tak pernah berhenti. "Aku mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini. Jadi kumohon... bertahanlah. Berjuanglah. Demi aku... demi kita..."
Ruby di leher Xienna berkilau redup, seolah merespon setiap kata yang terucap dari bibir Xyon. Dan dalam keheningan malam yang mencekam itu, sang raja vampir terus memeluk kekasihnya, menolak melepaskan, menolak menyerah pada takdir yang mencoba memisahkan mereka.
"Aku akan menunggumu," janjinya. "Selama apapun waktu yang kau butuhkan... aku akan selalu menunggumu kembali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi sang vampir
RomancePertemuan Takdir yang Gelap Dalam keheningan malam yang mencekam, istana Kekaisaran Veliau dipenuhi dengan cahaya lilin dan tawa merdu para tamu undangan. Di tengah keramaian itu, seorang gadis kecil berambut pirang keemasan dan mata sebening rubi...