Cahaya ruby yang berkedip tidak beraturan akhirnya membangunkan Xyon dari tidurnya. Begitu membuka mata, jantungnya seolah berhenti berdetak melihat kondisi Xienna.
"Xienna?" panggilnya panik, segera bangkit dan mencondongkan tubuh ke arah kekasihnya. "Astaga, ada apa?"
Wajah Xienna pucat pasi, basah oleh keringat dan air mata. Nafasnya tersengal tidak beraturan, dan tubuhnya gemetar hebat. Ruby di lehernya berkedip-kedip seperti lampu darurat, memancarkan cahaya merah yang menyiratkan bahaya.
"Dimana yang sakit?" tanya Xyon dengan suara bergetar, tangannya yang dingin mengusap wajah basah Xienna. "Katakan padaku, sayang. Apa yang kau rasakan?"
Xienna mencoba membuka mulutnya, tapi yang keluar hanya erangan lemah. Air mata semakin deras mengalir dari matanya yang setengah terbuka, frustasi karena tidak bisa mengutarakan rasa sakitnya.
"Sshh, tidak apa-apa," Xyon berusaha menenangkan meski jantungnya berdebar kencang oleh kepanikan. "Coba tunjuk dimana yang sakit."
Dengan tangan gemetar, Xienna mencoba menunjuk ke arah perutnya. Xyon segera memahaminya.
"Perutmu sakit?" tanyanya, mendapat anggukan lemah sebagai jawaban. "Ya Tuhan, kenapa aku tidak bangun lebih cepat?"
Dia segera melompat dari tempat tidur, bergegas ke lemari obat di sudut kamar. Tangannya gemetar saat membuka botol-botol ramuan, mencari yang bisa meringankan rasa sakit.
"Bertahanlah sebentar," dia kembali ke sisi Xienna dengan sebotol ramuan. "Ini akan membantu..."
Dengan hati-hati, dia membantu Xienna mengangkat kepalanya sedikit dan mendekatkan botol ke bibirnya. "Pelan-pelan," bisiknya saat membantu Xienna minum.
Tangan Xyon yang satunya mengusap punggung Xienna dengan lembut, mencoba menenangkan nafasnya yang masih tersengal. "Tarik nafas perlahan," dia membimbing. "Ikuti aku... Tarik nafas... Keluarkan..."
Ruby di leher Xienna masih berkedip cepat, tapi cahayanya mulai sedikit stabil. Xyon terus mengusap punggung kekasihnya dengan gerakan menenangkan.
"Maafkan aku," bisiknya, suaranya pecah oleh rasa bersalah. "Aku seharusnya tidak tidur terlalu lelap. Aku seharusnya tau kau mungkin membutuhkanku..."
Xienna menggeleng lemah, mencoba mengatakan bahwa itu bukan kesalahan Xyon. Tangannya yang gemetar mencari tangan kekasihnya, mencoba memberi remasan lemah untuk meyakinkannya.
"Apa masih sangat sakit?" tanya Xyon cemas, menggenggam tangan Xienna erat. "Aku akan memanggil tabib..."
Tapi Xienna menggeleng lagi, ruby di lehernya mulai berkedip lebih tenang. Ramuan itu sepertinya mulai bekerja, rasa sakitnya perlahan mereda.
"Kau yakin?" Xyon masih khawatir. "Jangan memaksakan diri. Kalau masih sakit, kita harus memanggil tabib."
Xienna mencoba tersenyum lemah, matanya yang setengah terbuka menatap Xyon dengan kasih sayang. Dia ingin mengatakan bahwa dia baik-baik saja sekarang, bahwa kehadiran Xyon sudah cukup menenangkannya, tapi suaranya masih belum mau keluar.
"Baiklah," Xyon akhirnya mengalah, tapi tetap waspada. "Tapi kalau sakitnya kembali, aku akan langsung memanggil tabib, oke?"
Dia mengusap sisa air mata di pipi Xienna dengan lembut. "Aku akan tetap terjaga," janjinya. "Jadi kalau kau merasa sakit lagi, atau butuh apapun, aku akan langsung tau."
Ruby di leher Xienna kini berkedip tenang, memancarkan cahaya lembut yang menenangkan. Xyon berbaring di samping kekasihnya, satu tangan tetap menggenggam tangan Xienna, sementara tangan lainnya mengusap rambutnya dengan lembut.
"Tidurlah kalau kau bisa," bisiknya. "Aku akan menjagamu. Aku janji."
Malam berlalu dengan Xyon yang terus terjaga, matanya tak lepas mengawasi setiap gerakan Xienna, siap bertindak jika rasa sakit itu kembali. Karena baginya, tidak ada yang lebih menyakitkan dari melihat orang yang dicintainya menderita tanpa bisa berbuat banyak untuk menolongnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi sang vampir
RomantikPertemuan Takdir yang Gelap Dalam keheningan malam yang mencekam, istana Kekaisaran Veliau dipenuhi dengan cahaya lilin dan tawa merdu para tamu undangan. Di tengah keramaian itu, seorang gadis kecil berambut pirang keemasan dan mata sebening rubi...