Bab 122 : Pertemuan yang Telah Dinantikan

2 0 0
                                    

Angin lembut bertiup, menerbangkan kelopak mawar putih di sekitar telaga. Axel masih terpaku mendengarkan kisah tentang kedua orangtuanya dari Phoenix salju itu.

"Jadi... kau mengenal mereka dengan baik?" tanya Axel, suaranya lebih lembut dari biasanya.

Phoenix itu mengangguk anggun. "Aku menyaksikan cinta mereka tumbuh. Ibumu... dia mengubah segalanya. Sebelum bertemu Xienna, ayahmu adalah sosok yang benar-benar ditakuti. Tapi Xienna melihat sesuatu yang lain dalam dirinya."

Axel menunduk, jemarinya tanpa sadar menyentuh liontin kristal di lehernya - satu-satunya peninggalan sang ibu. "Aku... aku bahkan tidak pernah mengenalnya."

"Tapi dia sangat mencintaimu," Phoenix itu terbang mendekat. "Bahkan sebelum kau lahir, Xienna selalu berbicara tentangmu dalam bahasa isyaratnya. Dia memimpikan akan seperti apa anaknya kelak."

Air mata tanpa disadari menggenang di mata merah delima Axel. Phoenix itu mengepakkan sayapnya lembut, menciptakan butiran es yang berkilau bagaikan berlian.

"Izinkan aku ikut denganmu," ucap Phoenix itu tiba-tiba. "Aku ingin bertemu Xyon. Sudah terlalu lama kami tidak berbicara."

Kerumunan di arena perburuan terdiam ketika Axel melangkah keluar dari hutan. Di lengannya, Phoenix salju legendaris bertengger dengan anggun, membuat para bangsawan terkesiap takjub.

"Mustahil..." bisik-bisik mulai terdengar. "Bagaimana mungkin..."

Lord Edmund, saingan utama Axel dalam perburuan, menatap tidak percaya. "Ini pasti trik! Tidak mungkin ada Phoenix salju di hutan ini!"

Axel mengabaikan semua komentar itu. Matanya mencari sosok sang ayah yang duduk di singgasana kehormatan. Xyon, yang biasanya selalu tampak dingin dan tak terbaca, kini membelalakkan mata melihat Phoenix di lengan putranya.

"Yang Mulia," Axel membungkuk hormat. "Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu."

# Reuni yang Mengharukan

Di ruang pribadi Kaisar, Phoenix salju itu terbang mengelilingi Xyon dengan riang. "Kau terlihat lebih tua, Yang Mulia," godanya.

Senyum tipis muncul di wajah Xyon. "Dan kau masih sama menyebalkannya."

"Bagaimana kabarmu?" tanya Phoenix itu, hinggap di sandaran kursi. "Sudah dua puluh tahun sejak... sejak Xienna..."

Raut wajah Xyon menggelap. "Tidak ada hari yang kulalui tanpa merindukannya."

"Dia akan sedih melihatmu seperti ini," Phoenix itu berkata lembut. "Xienna selalu ingin kau bahagia."

"Aku bahagia," Xyon melirik Axel yang berdiri diam di sudut ruangan. "Putra kami tumbuh menjadi pria yang kuat."

Phoenix itu terkekeh. "Oh ya, sangat mirip denganmu. Bahkan sifat dinginnya pun menurun sempurna."

"Kau ingat bagaimana dulu kita selalu berebut melindungi Xienna?" Phoenix itu mulai bernostalgia. "Kau selalu cemburu setiap kali dia menghabiskan waktu bersamaku di taman."

Xyon mendengus. "Kau yang selalu mencari perhatiannya."

"Oh? Siapa yang hampir membekukan setengah istana karena mengira aku menculik Xienna? Padahal dia hanya tertidur di sampingku setelah membaca buku."

Axel mengangkat alis mendengar cerita ini. Selama ini ia hanya mengenal ayahnya sebagai sosok yang dingin dan sempurna. Membayangkan Xyon yang cemburu dan protektif terasa... aneh.

Phoenix itu menoleh pada Axel. "Xyon, dia benar-benar anakmu dan Xienna? Tampan sekali, tapi sikapnya..." Phoenix menggeleng dramatis. "Terlalu dingin. Persis sepertimu dulu."

"Dia mewarisi yang terbaik dari kami berdua," Xyon menjawab tenang.

"Yang terbaik?" Phoenix mendengus. "Kurasa dia butuh seseorang seperti Xienna dalam hidupnya. Seseorang yang bisa mencairkan hati esnya."

Obsesi sang vampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang