Satu minggu berlalu sejak insiden di festival. Berita mengejutkan menyebar ke seluruh Excellence High school - Vincent Frost didiagnosis menderita kanker dan membutuhkan operasi segera.
Koridor-koridor sekolah dipenuhi isak tangis dan bisikan-bisikan. Para siswi yang biasanya ceria kini berjalan dengan wajah sembab. Bahkan Jessica dan kelompoknya yang terkenal kejam tampak terpukul.
"Dia terlalu muda," isak Jessica pada teman-temannya. "Ini tidak adil..."
Tiga hari kemudian, sebuah kabar yang lebih menggembirakan muncul - Nathan telah pulih dan kembali bersekolah. Xienna nyaris melompat dari kursinya saat melihat sahabatnya memasuki kelas.
"Nathan!" Xienna memeluknya erat. "Akhirnya kau kembali!"
Nathan tersenyum lemah, membalas pelukan sahabatnya. "Maaf membuatmu khawatir."
Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Keesokan harinya, rumor gelap mulai beredar - operasi Vincent tidak berjalan lancar. Hidupnya kini berada dalam hitungan mundur.
"Tidak mungkin..." bisik-bisik ketakutan memenuhi sekolah.
Hari berikutnya, seluruh sekolah dikejutkan oleh pemandangan yang memilukan. Vincent Frost, sang ketua OSIS yang sempurna, kembali ke sekolah dalam kondisi yang sangat berbeda. Duduk di kursi roda, wajahnya pucat dan tirus, dia didorong memasuki gerbang sekolah.
"Vincent..." para siswa menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Aku tidak bisa meninggalkan tanggung jawabku," Vincent tersenyum lemah. "Olimpiade Sains sudah dekat. Kalian masih membutuhkan saya."
Air mata mengalir di pipi banyak siswa. Bahkan para guru tampak terharu melihat dedikasi murid teladan mereka.
"Tapi kondisimu..." salah satu guru mencoba protes.
"Saya mohon," Vincent menatap dengan mata memohon. "Izinkan saya tetap mengikuti pelajaran dan membimbing tim Olimpiade. Ini... mungkin kesempatan terakhir saya."
Tidak ada yang bisa menolak permohonan itu. Vincent diizinkan kembali ke sekolah, meski dalam kondisi lemah.
Di sudut koridor, Nathan mengamati semua drama ini dengan mata menyipit. Tapi bahkan dia harus mengakui - penampilan Vincent terlalu meyakinkan. Tulang pipinya yang menonjol, kulit pucatnya, bahkan cara tangannya bergetar saat memegang buku...
'Seberapa jauh kau akan membawa sandiwara ini?' Nathan bertanya dalam hati.
Xienna berdiri di sampingnya, air mata menggenang di pelupuk matanya. "Nathan... Vincent... dia..."
Nathan mengepalkan tangannya, menahan diri untuk tidak membongkar semua kebohongan ini di depan Xienna. Tidak sekarang. Tidak saat semua bukti tampak begitu meyakinkan.
Di ruang OSIS yang sepi, V tersenyum tipis sambil memainkan tabung kecil berisi bubuk putih di tangannya.
"Makeup yang sempurna, ditambah sedikit bantuan kimia untuk efek pucat dan lemas," gumamnya puas. "Ah, betapa mudahnya mengendalikan emosi manusia."
"Tuan," Alex berbisik dari earpiece. "Pierce tampaknya masih curiga."
"Biarkan saja," V menyeringai. "Semakin dia mencoba membongkar kebohongan ini, semakin tidak masuk akal dia akan terdengar. Lagipula..." dia menatap ke arah Xienna yang berjalan melewati ruang OSIS, "targetku yang sebenarnya sudah mulai masuk ke dalam jaring-jaring yang kutebarkan."
Malam itu, suara bentakan memenuhi kediaman keluarga Xienna.
"Kau tahu berapa kerugian yang kita alami karena sikapmu?" ayahnya menggebrak meja. "Tiga kali, Xienna! Tiga kali kau menggagalkan proyek dengan Wintergale Corp!"
Xienna berdiri gemetar, matanya tertunduk. "Maaf, Ayah... aku tidak bermaksud..."
"Tidak bermaksud?" ibunya menyela dengan nada tajam. "Kau pikir kami tidak tahu kau sengaja menghindari setiap pertemuan dengan Tuan Wintergale?"
"Bersiaplah," ayahnya memijat kening. "Malam ini kita akan mendiskusikan masalah ini langsung dengan beliau."
Dua jam kemudian, Xienna duduk kaku di ruang pertemuan mewah Wintergale Corp. Aaron Wintergale duduk di hadapannya, topeng peraknya berkilau di bawah lampu kristal.
"Oh, ada urusan mendadak?" Aaron bertanya dengan nada ramah saat orang tua Xienna pamit ke toilet.
Setelah pintu tertutup, atmosfer ruangan berubah drastis. Aaron bangkit dari kursinya, melangkah pelan menuju Xienna yang masih menunduk.
"Lihat aku," suaranya berubah dingin, jemarinya menyentuh dagu Xienna, memaksa gadis itu mengangkat wajah. "Hmm... mata yang indah. Penuh dengan... ketakutan."
Xienna mencoba mengalihkan pandangan, tapi cengkeraman Aaron terlalu kuat.
"Menyakitkan, bukan?" Aaron berbisik, seringai tipis tersembunyi di balik topengnya. "Diperlakukan seperti aset oleh orang tuamu sendiri? Dipaksa melakukan hal yang tidak kau inginkan?"
Air mata mulai menggenang di mata Xienna.
"Tch tch tch," Aaron menggeleng pelan, tawa kecil keluar dari bibirnya. "Yah... ini lebih baik," bisiknya nyaris tak terdengar.
"A-apa maksudmu?"
"Kau tahu," Aaron melanjutkan, jarinya menghapus air mata Xienna dengan gerakan yang hampir lembut, "orang tuamu bahkan tidak peduli meninggalkanmu sendirian di sini. Dengan pria yang mereka tahu kau takuti."
Xienna tersentak mendengar kata-kata itu.
"Dunia ini kejam, bukan?" Aaron mundur selangkah, suaranya penuh kepuasan. "Nathan di rumah sakit, Vincent sekarat, orang tuamu lebih mementingkan bisnis... dan di sinilah kau, sendirian."
"Hentikan..." Xienna berbisik lemah.
"Tapi jangan khawatir," Aaron kembali ke kursinya dengan langkah anggun. "Aku akan memberikan apa yang mereka inginkan. Proyek ini akan berjalan... dengan syarat tertentu."
Tepat saat itu, pintu terbuka. Orang tua Xienna kembali dengan senyum bisnis mereka.
"Ah, maaf membuat Anda menunggu, Tuan Wintergale," ayah Xienna membungkuk sopan.
"Tidak masalah," Aaron tersenyum di balik topengnya. "Putri Anda sangat... kooperatif."
Di sudut ruangan, Alex mengamati semuanya melalui kamera tersembunyi, tersenyum puas melihat rencana tuannya berjalan sempurna.
"Phase dua," bisiknya ke earpiece, "selesai dengan sempurna, Tuan."
Xienna duduk gemetar di kursinya, menyadari bahwa dia baru saja terjebak dalam permainan yang jauh lebih besar dari yang dia bayangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi sang vampir
RomantizmPertemuan Takdir yang Gelap Dalam keheningan malam yang mencekam, istana Kekaisaran Veliau dipenuhi dengan cahaya lilin dan tawa merdu para tamu undangan. Di tengah keramaian itu, seorang gadis kecil berambut pirang keemasan dan mata sebening rubi...