Aaron mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja, suaranya tenang namun mengandung ketegasan yang tidak bisa dibantah."Saya punya satu syarat sederhana," Aaron menatap orang tua Xienna. "Izinkan putri Anda menjadi pendamping saya."
Ruangan itu hening seketika. Xienna membeku di kursinya, wajahnya memucat.
"Pen...damping?" ibunya bertanya ragu.
"Ya," Aaron tersenyum dingin di balik topengnya. "Saya membutuhkan seseorang yang... tepat untuk mendampingi saya di berbagai acara perusahaan. Dan putri Anda memiliki kualifikasi yang sempurna."
"Tapi..." ayah Xienna melirik putrinya yang gemetar, "dia masih sekolah..."
"Oh, tentu saja pendidikan tetap prioritas," Aaron mengibaskan tangannya dengan elegan. "Saya hanya meminta waktu luangnya. Sebagai gantinya..." dia mengeluarkan sebuah dokumen, "proyek ini akan berjalan dengan nilai tiga kali lipat dari proposal awal."
Mata kedua orang tua Xienna melebar melihat angka-angka di dokumen tersebut.
"Dan tentu saja," Aaron melanjutkan, "akan ada banyak... keuntungan lain di masa depan."
Xienna menatap horror saat ayahnya mengambil pena dengan tangan gemetar.
"Tunggu..." Xienna mencoba bersuara. "Ayah, Ibu... kumohon..."
"Diam, Xienna," ibunya memotong tajam. "Ini demi kebaikan keluarga kita."
Air mata mengalir di pipi Xienna saat melihat ayahnya menandatangani dokumen itu.
"Sempurna," Aaron bangkit dari kursinya. "Mulai besok, Xienna akan berada di bawah... pengawasan saya."
"Ti-tidak..." Xienna berbisik putus asa.
"Oh, dan satu hal lagi," Aaron menambahkan dengan nada kasual yang mengerikan. "Sebaiknya hal ini tetap menjadi rahasia kita. Terutama dari... teman-teman sekolah Xienna."
Di koridor gedung yang sepi, Alex menunggu dengan mobil siap.
"Tuan," dia membungkuk saat Aaron keluar. "Semuanya berjalan sesuai rencana?"
"Lebih baik dari yang diharapkan," Aaron melepas topengnya, menampakkan seringai puas. "Keserakahan manusia memang tidak pernah mengecewakan."
Di dalam ruangan yang ditinggalkan, Xienna jatuh terduduk, tubuhnya gemetar hebat. Dalam satu malam, hidupnya telah berubah menjadi mimpi buruk yang tidak bisa dia bangunkan.
"Nathan..." dia terisak pelan. "Tolong aku..."
Di kejauhan, Aaron menatap kota dari jendela mobilnya yang melaju.
"Sekarang," dia bergumam, "saatnya membuat permainan ini menjadi lebih... menarik."
Keesokan Harinya, Xienna melangkah gontai memasuki kelas. Matanya sembab, wajahnya pucat seperti tidak tidur semalaman.
"Xienna?" Nathan langsung menghampiri sahabatnya dengan wajah khawatir. "Ada apa? Kau tampak..."
"Aku baik-baik saja," Xienna memotong cepat, menghindari tatapan Nathan. "Hanya... kurang tidur."
"Jangan bohong padaku," Nathan memegang pundak Xienna. "Aku mengenalmu. Sesuatu terjadi, kan?"
Xienna membuka mulut, ingin menumpahkan segala ketakutannya, tapi suara Aaron bergema di kepalanya: "Hal ini tetap menjadi rahasia kita. Terutama dari teman-teman sekolahmu..."
"Sungguh, aku tidak apa-apa," Xienna memaksakan senyum.
Suara roda bergerak mendekat. Vincent muncul di ambang pintu kelas dengan kursi rodanya, wajahnya yang tirus memancarkan kekhawatiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi sang vampir
RomansaPertemuan Takdir yang Gelap Dalam keheningan malam yang mencekam, istana Kekaisaran Veliau dipenuhi dengan cahaya lilin dan tawa merdu para tamu undangan. Di tengah keramaian itu, seorang gadis kecil berambut pirang keemasan dan mata sebening rubi...