Bab 120 : Axel Bertemu Dengan Ibunya

7 0 0
                                    

Enam tahun berlalu dengan cepat. Pangeran Axel kini telah tumbuh menjadi pemuda berusia delapan belas tahun yang mengagumkan. Rambut peraknya yang panjang berkilau di bawah sinar rembulan, mata merahnya memancarkan kekuatan dan kebijaksanaan yang melampaui usianya. Para pelayan sering berbisik bahwa dia adalah sosok sempurna - tampan, cerdas, kuat, dan berbakat dalam segala hal.

Namun kesempurnaan itu datang dengan harga yang mahal. Di balik wajah rupawannya yang selalu tenang, Axel menyimpan kekosongan yang dalam. Selain pada ayahnya, dia tidak pernah membuka hati pada siapapun. Bahkan para putri dari kerajaan lain yang mencoba mendekatinya selalu mundur, terintimidasi oleh tatapan dinginnya yang menusuk.

Suatu malam, saat bulan purnama bersinar penuh, seorang pelayan mengetuk pintu kamar Axel.

"Yang Mulia Pangeran," panggilnya hormat, "Kaisar Xyon meminta kehadiran Anda di sayap utara istana."

Axel mengangkat alisnya, sedikit terkejut. Sayap utara istana sudah lama ditutup, dan ayahnya tidak pernah mengizinkan siapapun masuk ke sana. Yang ia tahu hanyalah bahwa tempat itu menyimpan kenangan tentang ibunya.

Dengan langkah tegap, Axel menyusuri lorong-lorong gelap menuju sayap utara. Debu tipis menyelimuti lukisan-lukisan tua di dinding. Udara di sini terasa berbeda - lebih berat, seolah menyimpan kesedihan yang dalam.

Di ujung lorong, Xyon sudah menunggu di depan sebuah pintu kayu berukir rumit. "Axel," sapanya lembut, "kau sudah dewasa sekarang. Papa rasa ini saatnya kau mengetahui semuanya."

"Tentang Mama?" tanya Axel, jantungnya berdebar.

Xyon mengangguk, membuka pintu kamar di hadapan mereka. "Ini adalah kamar ibumu."

Axel melangkah masuk dengan hati-hati. Kamar itu luas dan mewah, dipertahankan persis seperti delapan belas tahun yang lalu. Aroma mawar masih tercium samar. Di meja rias, sebuah sisir perak dengan ukiran bunga masih tergeletak, seolah menunggu pemiliknya kembali.

"Duduklah," Xyon menunjuk kursi beludru merah di dekat jendela. "Ada banyak yang harus Papa ceritakan."

Selama berjam-jam, Xyon membuka lembar demi lembar kisah hidupnya dengan Xienna. Tentang pertemuan pertama mereka di akademi sihir, tentang perjuangan mereka melawan prasangka dan penolakan, tentang cinta mereka yang tumbuh semakin kuat di setiap rintangan.

"Ibumu," Xyon tersenyum mengingat, "adalah penyihir paling berbakat di akademi. Tapi yang membuatnya istimewa bukanlah kekuatannya, melainkan hatinya yang lembut dan penuh kasih."

Axel mendengarkan dengan seksama, menyerap setiap detail tentang sosok yang selama ini hanya bisa ia bayangkan.

"Axel," Xyon tiba-tiba berkata dengan nada serius, "maukah kau... melihat wajah ibumu?"

Tubuh Axel menegang. Suaranya bergetar saat menjawab, "A-apa maksud Papa? Bukankah Mama sudah..."

"Ya, dia sudah tiada," Xyon mengakui. "Tapi Papa... Papa tidak bisa melepaskannya begitu saja."

Xyon tersenyum kecil, berusaha mencairkan suasana. "Kau pasti akan terkejut melihat betapa cantiknya ibumu. Rambut keemasannya selalu berkilau seperti matahari - sangat kontras dengan rambut perak kita."

Axel menahan napas saat ayahnya membimbingnya ke sebuah pintu tersembunyi di balik tirai berat. Pintu itu membawa mereka ke ruangan yang lebih dalam, gelap dan dingin.

"Papa selalu menjaganya," bisik Xyon sambil mengayunkan tangannya. Lilin-lilin di dinding menyala satu per satu dengan sihir.

Dan di sana, di tengah ruangan, terbaring sosok yang membuat jantung Axel seolah berhenti berdetak.

Dalam peti kaca yang berkilau ditimpa cahaya lilin, terbaring seorang wanita cantik berambut keemasan. Kulitnya pucat seperti pualam, bibirnya merah merekah, seolah dia hanya tertidur. Gaun putih panjang membungkus tubuhnya yang diawetkan dengan sempurna, dan di dadanya tersemat setangkai mawar merah yang tak pernah layu.

"I-inikah... Mama?" Axel berbisik, tangannya gemetar saat menyentuh permukaan peti kaca.

"Ya," Xyon berdiri di sampingnya. "Papa mengawetkan tubuhnya dengan sihir terlarang. Para tetua kerajaan menentang keras, tapi Papa tidak peduli. Papa ingin kau bisa melihat wajah ibumu suatu hari nanti."

Air mata darah mengalir di pipi Axel. Sosok dalam peti kaca itu... benar-benar cantik. Wajahnya memancarkan kedamaian, seolah dia bisa membuka mata dan tersenyum kapan saja.

"Lihat," Xyon menunjuk, "kau mewarisi bentuk matanya yang indah, meski warnanya merah seperti Papa. Dan hidungmu... persis seperti miliknya."

"Papa..." Axel berlutut di samping peti, tangannya masih menempel di kaca. "Bolehkah... bolehkah aku sering mengunjungi Mama?"

"Tentu saja," Xyon merangkul putranya. "Inilah alasan Papa mempertahankan sayap utara istana. Agar kita selalu bisa dekat dengan Mama."

Di dalam peti kaca, Xienna tetap tertidur dengan damai. Rambut keemasannya berkilau lembut, dan di bibirnya seolah tersungging senyum tipis - senyum seorang ibu yang akhirnya bisa bertemu kembali dengan putra yang sangat dicintainya.

Obsesi sang vampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang