Di tengah keheningan malam, Xienna terbangun dengan rasa sakit yang mencengkeram perutnya. Keringat dingin mulai membasahi keningnya, nafasnya mulai tidak beraturan. Rasa sakit itu datang seperti gelombang, setiap kali semakin kuat dan menyiksa.
Dia menoleh ke samping, melihat Xyon yang tertidur lelap di sebelahnya. Tangannya yang lemah mencoba meraih lengan kekasihnya, tapi gerakannya terlalu lemah untuk membangunkannya.
"X..." dia mencoba memanggil, tapi suaranya tak lebih dari hembusan nafas. Rasa frustrasi bercampur dengan rasa sakit saat dia menyadari betapa tak berdayanya dia sekarang.
Ruby di lehernya mulai berkedip tidak beraturan, merespon kesakitan yang dia rasakan. Nafasnya semakin tersengal, dadanya naik turun dengan cepat mencoba mendapatkan udara yang terasa semakin tipis.
"Xy..." dia mencoba lagi, air mata mulai menggenang di sudut matanya yang setengah terbuka. Rasa sakit di perutnya semakin menjadi, membuatnya mengepalkan tangannya di seprai hingga kuku-kuku jarinya memutih.
Dengan segenap tenaga yang tersisa, dia mencoba sekali lagi. "Xyon..." suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan angin malam yang lewat.
Ruby di lehernya berkedip semakin cepat dan terang, menciptakan cahaya merah yang menari-nari di dinding kamar. Keringat semakin deras mengalir di pelipisnya, membasahi bantal di bawah kepalanya.
'Kumohon, bangun...' dia berdoa dalam hati, tangannya yang gemetar mencoba meraih Xyon sekali lagi. Kali ini, jarinya berhasil menyentuh lengan kekasihnya, tapi sentuhannya terlalu lemah untuk dirasakan.
"X-Xyon..." dia mencoba memanggil lagi, suaranya pecah oleh isakan tertahan. Rasa sakit di perutnya kini menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya gemetar hebat.
Air matanya akhirnya jatuh, mengalir di pipinya yang pucat. Dia merasa begitu frustasi dan tak berdaya. Dulu, dia bisa dengan mudah memanggil nama kekasihnya. Sekarang, bahkan untuk mengucapkan satu kata pun terasa seperti perjuangan yang mustahil.
Ruby di lehernya kini bersinar sangat terang, seolah mencoba membantu memanggil Xyon. Cahayanya memantul di wajah pucat Xienna yang basah oleh air mata dan keringat.
'Sakit...' batinnya menjerit saat gelombang rasa sakit yang lebih kuat menghantam perutnya. 'Xyon... kumohon...'
Nafasnya semakin pendek dan cepat, pandangannya mulai mengabur di tepi. Tangannya yang lemah masih mencoba meraih Xyon, berharap kekasihnya akan segera terbangun dan menolongnya dari rasa sakit yang semakin tak tertahankan ini.
"Xy...on..." dia mencoba sekali lagi, suaranya nyaris tak terdengar di tengah deru nafasnya yang semakin tak beraturan. Ruby di lehernya berkedip semakin cepat, seperti sinyal bahaya yang mendesak.
Kegelapan mulai mengintip di tepi pandangannya yang kabur. Xienna merasa ketakutan - takut akan rasa sakit yang tak kunjung reda, takut akan ketidakmampuannya memanggil pertolongan, dan yang paling menakutkan - takut akan kegelapan yang mengancam akan menelannya sekali lagi.
'Xyon...' nama itu terus bergema dalam benaknya, seperti doa yang tak pernah berhenti, sementara rasa sakit terus menggerogoti kesadarannya yang semakin menipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi sang vampir
RomancePertemuan Takdir yang Gelap Dalam keheningan malam yang mencekam, istana Kekaisaran Veliau dipenuhi dengan cahaya lilin dan tawa merdu para tamu undangan. Di tengah keramaian itu, seorang gadis kecil berambut pirang keemasan dan mata sebening rubi...