Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik awan, menyinari taman mawar Istana Vampir yang megah. Di sana, Xienna tengah berlarian dengan riangnya di antara rumpun mawar merah yang bermekaran. Gaun birunya melambai lembut tertiup angin, sementara rambut panjangnya yang tergerai menari-nari mengikuti gerakannya yang anggun.
Xyon mengamati dari kejauhan, bersandar pada pilar marmer dengan senyum teduh di wajahnya. Melihat kekasihnya telah pulih sempurna membuat hatinya dipenuhi rasa syukur yang tak terhingga. Tawa tanpa suara Xienna, gerakan lincahnya mengejar kupu-kupu, dan pancaran kebahagiaan di matanya - semua itu adalah pemandangan yang sempurna bagi Xyon.
Ketenangan pagi itu terusik ketika seorang pelayan menghampiri Xyon dengan sebuah amplop bersegel emas di tangannya. "Yang Mulia, ada surat undangan dari kediaman Duke," ujar si pelayan sambil membungkuk hormat.
Xyon membuka segel dengan hati-hati dan mulai membaca isinya. Setiap kata yang tertulis dengan tinta emas itu membuat sudut bibirnya tertarik membentuk seringai geli.
Kepada Yang Terhormat Lady Xienna,
Dengan sukacita saya mengundang Anda untuk menghadiri pesta pribadi dalam rangka peresmian rumah kaca pertama di Kerajaan ini. Akan ada beberapa lady bangsawan terpilih yang turut meramaikan acara ini.
Tertanda,
Duchess AlexandriaXienna yang menangkap ekspresi geli Xyon dari kejauhan, menghentikan kegiatannya bermain dengan bunga. Dengan langkah ringan ia menghampiri kekasihnya, kedua alisnya terangkat penuh tanya.
'Ada apa?' tanya Xienna dalam bahasa isyarat.
Xyon menyerahkan surat itu pada Xienna, "Duchess Alexandria mengundangmu ke pesta rumah kacanya." Ia terkekeh pelan, "Dia sangat bangga mengklaim sebagai pemilik rumah kaca pertama di kerajaan ini."
Xienna membaca surat itu dengan seksama, sementara Xyon melanjutkan, "Padahal rumah kaca yang kubangun untukmu dua tahun lalu jauh lebih megah. Tapi kurasa tak ada salahnya membiarkan Duchess itu berbangga dengan pencapaiannya."
Setelah selesai membaca, Xienna tampak ragu. Jemarinya bergerak perlahan, 'Haruskah aku pergi?'
Xyon menggenggam tangan Xienna dengan lembut, "Keputusan ada di tanganmu, sayang. Tapi jika kau bertanya pendapatku, mungkin ini kesempatan baik untuk bersosialisasi dengan para lady lainnya."
# Syarat dan Persiapan
Xienna tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Namun jemarinya kembali bergerak membentuk isyarat, 'Tapi aku punya satu syarat.'
"Apa itu, sayangku?" tanya Xyon lembut.
'Kau tidak boleh datang menjemputku di tengah pesta seperti waktu itu,' Xienna memberi isyarat dengan wajah merona, mengingat kejadian di pesta teh sebelumnya dimana Xyon menggendongnya di hadapan semua orang. 'Dan kumohon tunggulah di istana.'
Xyon tertawa kecil melihat rona merah di pipi kekasihnya. "Baiklah, aku berjanji akan menunggumu di istana. Tapi..." ia mendekatkan wajahnya, berbisik di telinga Xienna, "jika terjadi sesuatu, aku tidak akan ragu untuk menjemputmu lagi."
Xienna mengangguk malu, kemudian bergegas kembali ke kamarnya untuk bersiap. Para pelayan membantunya mengenakan gaun sutra berwarna lavender dengan detail renda yang rumit. Rambutnya ditata dengan anggun, dihiasi jepit rambut berlian pemberian Xyon.
Kereta kuda istana berhenti di depan mansion Duchess Alexandria yang megah. Xienna turun dengan anggun, disambut oleh Duchess sendiri yang tersenyum lebar - terlalu lebar hingga terkesan tidak natural.
"Lady Xienna! Sungguh suatu kehormatan Anda bersedia hadir," sambut Duchess Alexandria dengan nada manis yang dibuat-buat. "Mari, para tamu lain sudah menunggu di rumah kaca."
Mereka berjalan melalui taman yang tertata rapi menuju sebuah bangunan kaca yang berdiri angkuh. Meski ukurannya tak seberapa dibanding rumah kaca di istana, Xienna tetap mengagumi keindahannya dengan tulus.
Di dalam, beberapa lady bangsawan telah berkumpul. Mereka duduk melingkar di kursi-kursi bergaya victorian, dengan Lady Ciel yang datang terakhir tepat setelah Xienna mengambil tempat duduknya.
Pesta berlangsung meriah - setidaknya bagi para lady yang bisa berbicara. Mereka mengobrol, bergosip, dan tertawa, sepenuhnya mengabaikan keberadaan Xienna. Sesekali tatapan mencemooh dan bisikan-bisikan mengejek terdengar, cukup keras untuk didengar Xienna namun terlalu samar untuk dianggap sebagai penghinaan terang-terangan.
Xienna duduk dengan anggun, menyesap tehnya dalam diam. Di balik wajah tenangnya, pertanyaan-pertanyaan pahit berkecamuk. Mengapa mereka begitu membenci seseorang yang berbeda? Apakah ketidakmampuannya berbicara membuat dia kurang berharga di mata mereka?
Namun Xienna tetap tersenyum, mengingat kata-kata Xyon bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh kemampuannya berbicara, melainkan oleh ketulusan hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi sang vampir
RomantizmPertemuan Takdir yang Gelap Dalam keheningan malam yang mencekam, istana Kekaisaran Veliau dipenuhi dengan cahaya lilin dan tawa merdu para tamu undangan. Di tengah keramaian itu, seorang gadis kecil berambut pirang keemasan dan mata sebening rubi...