Belum sempat mereka bernafas lega, udara tiba-tiba menjadi berat. Puluhan - tidak, ratusan pembunuh muncul dari kegelapan, mata mereka merah menyala tidak wajar.
"Ini tidak normal," Xyon menggeram, merasakan energi familiar yang mengendalikan para pembunuh.
Dari kegelapan, sosok bertudung muncul. Saat tudungnya terbuka, Xienna terhuyung mundur.
"Tidak mungkin..." bisiknya horor. "Kau... kakak..."
Sosok itu tersenyum kejam - Vexus, kakak Xienna yang seharusnya sudah mati ribuan tahun lalu.
"Axel," Xyon memanggil putranya, matanya tidak lepas dari ancaman di depan. "Bawa Luna dan Aurora ke ruang bawah tanah. Sekarang."
"Tapi Ayah-"
"SEKARANG!"
Xyon dan Xienna berpandangan, komunikasi tanpa kata. Mereka tahu apa yang harus dilakukan - Segel Vampir Kuno, ritual yang membutuhkan nyawa sebagai tumbal.
"Maafkan kami, anakku," Xienna berbisik, air matanya mengalir.
Xyon dan Xienna berdiri berpunggung-punggungan, tangan mereka terangkat. Darah mengalir dari telapak tangan mereka yang tersayat, membentuk lingkaran segel di lantai.
"Untuk Aurora," Xyon menggenggam tangan istrinya.
"Untuk masa depan," Xienna membalas.Axel bergabung dengan mereka, energinya berpadu dengan kedua orangtuanya. Luna menggenggam erat Aurora yang menangis, seolah bayi itu tahu apa yang akan terjadi.
"Kalian pikir bisa mengalahkanku?" Vexus tertawa. "Aku abadi!"
"Tidak ada yang abadi," Xienna menatap kakaknya sedih. "Bahkan kebencian harus berakhir."
Segel aktif, cahaya merah dan violet meledak memenuhi istana. Vexus menjerit, tubuhnya mulai hancur.
"Axel," Xyon tersenyum pada putranya untuk terakhir kali. "Jadilah Raja yang lebih baik dari ayahmu."
"Jaga Aurora," Xienna berbisik. "Dia... harapan kita..."
Cahaya membutakan semua orang. Saat reda, Vexus telah lenyap - begitu juga dengan Xyon dan Xienna. Yang tersisa hanya genangan darah dan dua mahkota yang jatuh berdenting ke lantai.
"AYAH! IBU!" Axel jatuh berlutut, meraung dalam kesedihan.
Luna mendekat, air matanya mengalir deras. Aurora dalam gendongannya menangis, cahaya keemasan menyelimuti tubuh mungilnya.
Di tengah kesedihan itu, aurora keemasan muncul di langit istana - tanda terakhir dari Xyon dan Xienna, memberkati cucu mereka dengan cinta yang abadi.
"Mereka akan selalu hidup," Luna berbisik pada suaminya. "Dalam Aurora, dalam kita..."
Istana Lunaris diselimuti keheningan mencekam. Bendera-bendera diturunkan setengah tiang, dan langit yang biasanya cerah kini kelabu - seolah alam turut berduka atas kepergian Raja dan Ratu mereka.
Axel berdiri di balkon kamarnya, memandang kosong ke arah taman tempat ia biasa berlatih dengan ayahnya. Tangannya menggenggam erat mahkota yang ditinggalkan Xyon, masih bernoda darah.
"Kenapa harus begini?" bisiknya parau. "Kenapa kalian meninggalkanku begitu cepat?"
Luna mengamati suaminya dari jauh, Aurora tertidur dalam gendongannya. Hatinya hancur melihat Axel yang bahkan belum menyentuh makanannya selama tiga hari.
"Mereka menyelamatkan kita semua," Luna berbisik pada Aurora. "Kakek dan nenekmu adalah pahlawan sejati."
Seluruh kerajaan berkumpul di halaman istana. Dua peti kosong - karena tubuh Xyon dan Xienna telah lenyap - dihiasi dengan bunga-bunga putih dan pita merah.
Axel berdiri tegap, berusaha tegar meski hatinya remuk. Luna di sampingnya, menggenggam tangannya erat.
"Ayah dan ibuku," Axel memulai pidatonya, suaranya bergetar. "Mereka bukan hanya Raja dan Ratu yang bijaksana. Mereka adalah orangtua yang rela mengorbankan segalanya demi masa depan kita."
Air mata mulai mengalir di pipi para hadirin.
Seluruh kota berkabung. Toko-toko tutup, lilin-lilin dinyalakan di setiap jendela. Para penduduk meletakkan bunga di gerbang istana, mengenang kebaikan Xyon dan Xienna.
"Mereka memimpin dengan cinta," bisik seorang nenek pada cucunya. "Dan mati dengan cinta yang sama."
Malam-malam terasa lebih panjang. Axel sering terbangun berteriak, mimpi buruk tentang detik-detik terakhir orangtuanya.
Luna selalu ada di sisinya, memeluknya erat. "Mereka ingin kau kuat," bisiknya. "Mereka ingin kau hidup."
Suatu malam, saat kesedihan terasa paling berat, Aurora yang masih bayi tiba-tiba tertawa. Cahaya keemasan menyelimuti kamar mereka, dan untuk sesaat, Axel dan Luna bisa merasakan kehangatan pelukan Xyon dan Xienna.
"Mereka akan selalu ada," Luna mengusap air mata Axel. "Dalam darah kita, dalam Aurora, dalam setiap nafas yang kita hirup."
Axel mengangguk perlahan, untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, sebuah senyum tipis muncul di wajahnya.
"Aku berjanji," Axel berbisik, menggendong Aurora. "Aku akan menjadi Raja seperti yang Ayah inginkan. Aku akan melindungi kerajaan ini, seperti yang selalu kalian lakukan."
Meski istana masih diselimuti duka, ada harapan yang mulai tumbuh. Dalam tangis Aurora, dalam senyum Luna, dalam tekad baru Axel - warisan cinta Xyon dan Xienna tetap hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi sang vampir
RomancePertemuan Takdir yang Gelap Dalam keheningan malam yang mencekam, istana Kekaisaran Veliau dipenuhi dengan cahaya lilin dan tawa merdu para tamu undangan. Di tengah keramaian itu, seorang gadis kecil berambut pirang keemasan dan mata sebening rubi...