Bab 125 : Pewaris Takhta

3 0 0
                                    

Aula kerajaan tampak megah dengan ribuan lilin yang berpendar lembut. Para bangsawan dari berbagai penjuru negeri berkumpul, mengenakan pakaian terbaik mereka untuk menyaksikan momen bersejarah ini - pengangkatan Pangeran Axel sebagai pewaris tahta resmi Kerajaan Vampir.

Axel berdiri tegap di depan singgasana, mengenakan jubah kerajaan berwarna hitam dengan bordiran emas. Di dadanya tersemat pin kerajaan berbentuk mawar - simbol yang dipilih ayahnya sejak menikahi Xienna. Usianya kini 28 tahun, namun wajahnya tetap tampan dan muda, warisan darah vampir murninya.

"Hari ini," suara Xyon menggelegar di aula, meski tubuhnya tampak lebih rapuh dari biasanya, "di hadapan para saksi dan leluhur kita, aku, Xyon, Kaisar Vampir ke-13, akan menyerahkan tahta kepada putraku."

Xyon berdiri dari singgasananya dengan bantuan tongkat kerajaan. Rambutnya yang dulu berwarna perak kini dipenuhi uban, wajahnya yang tampan mulai dihiasi keriput. Bahkan vampir sekuat dia pun tak bisa melawan waktu selamanya.

"Axel, putraku," Xyon melangkah mendekat, "berlututlah."

Axel berlutut dengan anggun, kepalanya tertunduk hormat. Para tamu menahan napas menyaksikan ritual kuno ini.

"Dengan darah para leluhur yang mengalir dalam nadi kita," Xyon meletakkan mahkota kerajaan di kepala Axel, "dengan kekuatan yang diberikan padaku sebagai Kaisar, dan dengan restu dari mereka yang telah tiada..." ia melirik ke arah potret Xienna yang terpajang di dinding, "aku mengangkatmu sebagai pewaris tahta resmi Kerajaan Vampir."

"Aku, Axel," suara Axel bergema di aula, "bersumpah akan mengabdikan hidupku untuk kerajaan ini. Aku akan melindungi rakyatku, menjaga kedamaian, dan meneruskan warisan para leluhur dengan segenap jiwa ragaku."

Tepuk tangan membahana memenuhi aula. Namun di tengah sorak-sorai itu, tubuh Xyon tiba-tiba oleng.

"Ayah!" Axel menangkap tubuh Xyon sebelum menyentuh lantai. Wajah sang mantan Kaisar pucat pasi.

Di kamar pribadi Xyon, Axel duduk di samping ranjang ayahnya. Dokter kerajaan baru saja selesai memeriksa dan memberikan ramuan penyembuh, tapi raut wajahnya tidak menenangkan.

"Umur Yang Mulia Xyon sudah sangat tua," dokter itu berkata pelan. "Bahkan untuk ukuran vampir. Kesedihan dan kerinduan yang dalam... bisa mempercepat penuaan."

Axel menatap wajah tidur ayahnya. Xyon yang dulu begitu kuat, yang ditakuti seluruh kerajaan, kini tampak begitu rapuh. Air mata darah menggenang di mata Axel.

Malam semakin larut. Axel masih terjaga, menggenggam tangan ayahnya yang dingin. Dari bibirnya, mengalun lembut lagu yang sering diceritakan Xyon - lagu yang selalu diisyaratkan ibunya dulu:

"Di bawah rembulan perak
Kutemukan cinta sejati
Dalam kegelapan abadi
Cahayamu menerangi..."

Suara Axel yang dalam dan lembut mengalun dalam keheningan kamar:

"Di bawah rembulan perak
Kutemukan cinta sejati
Dalam kegelapan abadi
Cahayamu menerangi

Meski kata tak terucap
Cinta kita abadi
Dalam sunyi yang menggema
Hatiku selalu menari

Mawar merah saksi bisu
Cinta yang tak terganti
Meski waktu memisahkan
Jiwa kita tetap satu..."

Tiba-tiba, jemari Xyon bergerak lemah. Mata merah delimanya yang kini tampak redup perlahan terbuka.

"Xienna..." ia berbisik lirih, "kau menyanyi untukku lagi..."

"Ayah," Axel mengeratkan genggamannya pada tangan Xyon. "Ini aku, Axel."

Xyon tersenyum lemah. "Ah, putraku... Suaramu... ketika kau menyanyi, kau terdengar seperti ibumu."

"Tapi ibu tidak bisa berbicara," Axel mengernyit bingung.

"Ada masa..." Xyon terbatuk pelan, "sebelum kutukan itu merenggut suaranya. Saat dia masih Ivory... suaranya adalah yang terindah yang pernah kudengar."

"Ayah tidak pernah menceritakan ini sebelumnya," Axel berbisik. "Tentang kutukan itu..."

Xyon memejamkan mata sejenak. "Karena itu adalah bagian paling gelap dari kisah kami. Saat Ivory bereinkarnasi menjadi Xienna...."

Xyon melanjutkan dengan suara bergetar, "setiap kali ibumu mengisyaratkan lagu ini, aku selalu bisa mendengar suaranya yang dulu dalam benakku. Lagu ini... adalah lagu terakhir yang dia nyanyikan sebelum kehilangan suaranya."

Axel merasakan dadanya sesak. "Kenapa ibu melakukan itu?"

"Karena cinta," Xyon tersenyum getir. "Cinta sejati tidak membutuhkan alasan, Axel. Ibumu memilih untuk kehilangan suaranya daripada melihatku menderita dalam kesunyian abadi."

"Dan kau, putraku," Xyon mengangkat tangannya yang lemah untuk menyentuh wajah Axel, "kau mewarisi kekuatan cintanya. Meski kau bersikap dingin seperti aku dulu, tapi di dalam hatimu mengalir kehangatan Xienna."

"Tapi aku tidak bisa," Axel menggeleng. "Aku tidak bisa membuka hatiku seperti ibu."

"Kau bisa," Xyon meyakinkan. "Suatu hari nanti, kau akan menemukan seseorang yang akan membuatmu mengerti... bahwa cinta sejati layak untuk diperjuangkan, apapun risikonya."

Obsesi sang vampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang