.
「Penghapus di Kepalaku」
»–R–I–M–«
Wajar untuk berhati-hati.‘Kenapa dia melakukan ini? Dia membuatku merasa kasihan…’
Ekspresi Cho Hyejin berantakan.
Itu adalah pertama kalinya dia menangis sekeras itu setelah Kim Hyunsung mencampakkannya dengan kecepatan cahaya.
Dia tidak mengeluarkan suara, tapi bibir dan matanya terus bergetar.
Meski dia buru-buru menutupi wajahnya seolah dia malu melalui bahunya yang rapuh. Aku tahu jika kelenjar air mata Cho Hyejin belum mengering
‘Maksudku, kenapa kau menangis? Kenapa kau menganggap ini serius? Kau tidak pernah menjadi tipe orang yang bereaksi seperti ini.’
Aku membuat skenario seperti itu karena kupikir itu tidak akan berdampak buruk.
Aku berharap Cho Hyejin menganggapnya serius, tapi aku tidak berpikir dia akan memiliki respons seperti itu.
Secara alami, aku merasa sedikit bersalah. Siapa yang tahu dia akan menangis karena informasi palsu yang dibuat-buat?
“.....”
Semakin banyak waktu berlalu, semakin memalukan. Tempat kami berada menjadi tidak nyaman, mengingat kesunyian di sekitar kami semakin berubah menjadi khidmat.
Aku tidak akan malu jika itu orang lain, tapi karena itu Cho Hyejin, aku mulai merasa lebih canggung. Saat aku memecah keheningan yang lama, dia segera menjawab.
“Apa kau menangis?”
“......”
“Apa kau benar-benar menangis?”
“Siapa bilang aku menagis?”
“Kau menangis. Kau masih menangis.”
“Aku tidak menangis.”
“Sepertinya kau menangis.”
“Aku tidak menangis. Kenapa kau terus melakukan itu?! Aku benar-benar tidak menangis. Aku tidak menangis. Aku tidak!”
“Ah… oke.”
“Dan… Dan apa itu benar-benar penting dalam situasi ini? Bagaimana bisa kau bercanda seperti ini? Apa kau benar-benar harus bertanya padaku?”
“Tidak...”
“Aku sudah tahu kalau kau lambat, tapi aku tidak tahu itu separah ini. Apa kau mau bercanda dalam situasi ini sekarang? Bagaimana bisa kau tertawa? Bagaimana kau tersenyum? Kehilangan ingatanmu? Pikiranmu terkikis? Bagaimana bisa kau tidak mengatakan apapun saat mengetahui itu? Tetap saja. Tetap saja, aku menganggapmu sebagai teman... snif…”
“......”
“Bisa-bisanya kau tidak mengatakan apa-apa padaku… dan tetap diam... bagaimana... bagaimana kau menanganinya sendiri? Kenapa…”
‘Jangan membuat suasana menjadi serius lagi. Kau membuatnya canggung dan membuatku merasa menyesal.’
Aku tidak tahu apa aku harus menepuk bahunya atau memeluknya. Aku memikirkan itu sejenak dan merasa seolah aku harus mencoba menghindari kedua pilihan itu. Dia tidak akan menyukainya.
Untuk saat ini, yang terbaik adalah tetap diam sampai emosinya mereda. Tampaknya suasana akan menjadi lebih buruk kalau aku memprovokasi dia atau mencoba memperbaikinya sejak awal.