.
「Belahan Jiwa」
»–R–I–M–«
.
“Kita harus mulai dari mana? Yah… tidak ada yang tidak kulakukan saat aku berada di Bumi.”
“.......”
“Benar-benar tidak ada yang belum kulakukan.”
“Apa yang kau bicarakan, Nuna? Aku tidak akan percaya kalau kau mulai mengatakan hal seperti itu.”
“Kenapa? Apa kita tidak bisa mengobrol serius? Aku hanya mengatakannya karena ingin. Aku tidak peduli entah kau percaya atau tidak, Oppa. Dengarkan saja.”
“Berapa kali kita membahas Bumi? Kau mengubah ceritanya setiap kali kita mambahas itu. Bagaimana bisa aku…”
“Aku tidak mencoba mengerjaimu. Kau selalu berusaha menghindari omong kosong semacam ini. Itu juga penyakit. Kau tidak perlu menunjukkan kalau kau punya masalah mental seperti ini, kan? Ayo luangkan waktu untuk saling memahami tanpa mempermasalahkan itu… Kau menyedihkan dan pengecut. Jangan menghindari. Kau tidak perlu mencoba menjauh dariku. Ini sudah berakhir.”
“......”
“Oke, kembali ke topik. Tidak ada yang belum kulakukan. Aku tidak perlu mengatakan apa saja yang telah aku lakukan. Lagipula kau tidak akan percaya. Anggap saja aku setengah berbohong. Masalalu biasanya akan dilebih-lebihkan setelah kau membicarakannya, kan?”
“Apa maksudmu?”
“Aku tidak membahas ini untuk menyatakan sesuatu padamu. Menurutmu aku ini orang seperti apa, Oppa?”
“......”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti gadis gila? Seorang psikopat? Penjahat?”
“.....”
“Saat kita pertama kali bertemu, kau mungkin menganggapku sebagai sampah manusia dan tidak ada cara untuk menyelamatkan gadis jahat seperti di drama. Mungkin kau mengira aku adalah penjahat. Bukan ‘seperti’ kriminal, tapi kriminal sungguhan. Kau pasti pernah berpikir begitu. Oh, jangan memasang tampang seolah kepalamu dipaku. Jangan berpura-pura menyesal. Begitulah caraku melihatmu, Oppa. Dan jujur, aku tidak lebih sampah daripada dirimu.”
“......”
“Jadi apa? Pada akhirnya aku jujur. Tidak ada bedanya di Bumi. Aku tidak tahu apa yang orang lain pikirkan tentang Lee Jihye, tapi aku ingin naik, dan aku tidak berbeda sekarang. Aku ingin terus naik. Aku pernah naik ke posisi yang tidak buruk menurut standarku, tapi kurasa keserakahanku tidak ada habisnya. Jika aku naik lebih tinggi, aku ingin melampaui itu, dan saat melihat pandanganku saat ini, aku ingin melihat yang berikutnya.”
“.......”
“Entah karena aku kurang puas atau aku gila, aku harus menjaga itikad baik, tapi itu akan terlihat seolah aku melakukan hal kotor dalam perspektif orang. Tapi, tidak peduli pendapat orang lain. Aku bangga pada diriku sendiri. Kupikir aku bisa melangkah lebih jauh, dan aku benar-benar bisa melihat benteng di depanku.”
“......”
“Aku sudah bekerja keras, dan aku punya banyak kartu. Aku percaya diri, tapi kurasa bukan itu.”
“.......”
“Kurasa di mata orang-orang di atas sana aku tidak seperti itu, dan mereka mengira aku tidak diizinkan duduk. Tapi kemudian aku menyadari sesuatu. Aku bisa bangun di sini karena bajingan itu mengizinkanku untuk berada di sini. Beberapa orang di atas sana mengizinkanku untuk bangkit. Tentu saja, aku tidak bermaksud menyangkal skillku, tapi orang-orang di ataslah yang mengatur panggung untuk menunjukkan kemampuanku. Sejak awal… Bukan... Sejak awal posisi itu seharusnya menjadi milikku.”