Bangunan serba putih dengan nuansa alkohol yang kerap kali menusuk indera penciuman ini tentu saja tak pernah sepi. Tempat yang menjadi harapan bagi umat manusia untuk mendapatkan pengobatan yang tepat agar menunjang hidup sehat atau bagi beberapa manusia yang harus bertaruh antara hidup dan mati.
Meja kerja yang sudah ia bereskan dan juga jas putihnya yang kini sudah berganti dengan jas maroon lengkap dengan dasi senada bermotif garis. Pria ini berjalan singkat ke depan cermin, menyisir rambutnya dengan jemarinya sebelum meninggalkan ruang kerjanya.
Menyapa dengan ramah beberapa tenaga medis lain dan juga rekan kerjanya yang siap berganti shift dengan dirinya. Setelah melihat pesan singkat yang dikirim oleh sang istri beberapa puluh menit lalu, langkahnya mulai bergegas menuju sebuah lorong yang ia kenal dengan ruangan bersalin.
Begitu langkahnya memasuki lorong, tangisan dari beberapa bayi yang berada di ruangan kaca itu mulai terdengar. Hingga matanya menangkap satu sosok yang tengah menatap penuh kasih sebuah ruangan kaca yang dipenuhi bayi-bayi yang baru terlahir ke dunia.
Dapat ia lihat telapak tangan wanitanya itu tanpa sadar bertumpu pada dinding kaca besar dan bibirnya yang bergumam pelan seraya tersenyum dengan mata yang memandangan terpaku pada sosok bayi berbalut kain berwarna merah muda di dalam box di dalam ruangan.
Ia mengambil langkah hati-hati untuk mendekat ke samping sang istri. Melihat sosok bayi yang dipandangi istrinya dari luar ruangan.
Mata bulat serta tangisan yang hampir bersatu dengan tangisan lain ini nampaknya diurungkan setelah mata itu bergulir melihat sosok wanita di luar ruangan yang tengah tersenyum kearahnya. Dengan rongga mulutnya yang masih belum tumbuh gigi, bayi yang kira-kira berusia 3 bulan ini nampak tersenyum ke arah luar ruangan.
"Sayang?"
Wanita itu menoleh, melihat pria yang sudah melingkarkan lengan pada pinggangnya.
"Kau sudah disini sejak terakhir kali mengirim pesan padaku?"
Wanita itu mengangguk kemudian berpaling kembali pada sosok bayi di dalam ruangan. Menunjuk beberapa kali dengan jari telunjuknya dan kemudian bergumam pelan.
"Taehyung, bayi itu sepertinya ingin keluar."
"Sayang--"
"Taehyung, bayi itu sepertinya sudah hampir 3 bulan. Tapi kenapa masih disana?"
"Jieun, sayang.. Ayo pulang?"
Jieun menghela napas, menyematkan jemarinya pada jemari Taehyung sebelum kembali merengek singkat. "Tanyakan pada perawat dulu, kalau dia ditinggalkan oleh orang tuanya di rumah sakit ini. Aku ingin mengurusnya."
Taehyung mengusap telapak tangan Jieun, mengecupnya singkat seraya berujar. "Nanti aku tanyakan, ya?"
"Tapi, bulan ini kan kau sudah berjanji tidak akan terlalu lelah karena kita juga sedang program kan?"
Mendengar itu senyum Jieun yang semula mengembang perlahan memudar lengkap dengan dengusan sebal yang terdengar dari wanita yang sudah melangkahkan kakinya terlebih dulu dan membuat Taehyung ikut melangkah karena jemari keduanya yang tersemat satu sama lain.
"Kau sudah berjanji lho untuk mengikuti perkataan dokter kemarin."
Kali ini Taehyung meraih sabuk pengaman di kursi Jieun, memasangkannya pada sang istri untuk memastikan keamanannya.
"Setelah aku benar-benar hamil, janji untuk membawa bayi itu pulang ya?"
Taehyung mengacak singkat rambut Jieun. Mencubit hidung mungil di depannya seraya berujar pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
-VIU SERIES-
FanfictionBerisi Long Story VIU yang lebih dari 10 sub chapter. Masing-masing chapter bisa berbeda genre. Hope y'all like it!