Coin in Case; 13

204 62 4
                                    

Jieun menyusuri sebuah lorong yang biasanya digunakan untuk jalur sel tahanan dan juga sebuah kantor utama untuk menerima tamu besuk. Setiap hari di jam yang sama, dirinya selalu berjalan melewati lorong ini. Bahkan ia sudah hapal siapa saja nama-nama opsir yang akan berjaga disana setiap harinya.

Kali ini ada yang berbeda, ia harus melalui lorong itu dengan wajah babak belurnya. Luka lebab dan luka sobek pada sudut bibirnya sangat terlihat jelas. Bahkan noda darah pada kerah pakaiannya akibat batuk darah karena perutnya sempat ditendang beberapa kali ini belum juga menghilang.

Kekerasan dalam sel tahanan bukan lagi sebuah hal yang tabu. Di negara manapun hal ini pasti terjadi. Bahkan bukan hanya sesama tahanan, kerap kali opsir disana bisa melakukan kekerasan jika seorang tahanan tidak mengikuti peraturan atau untuk sekedar memuaskan amarah sekali pun.

Entah apa yang salah dengan dunia ini. Petugas yang seharusnya mencegah kekerasan malah menggunakan itu untuk keperluan tugasnya. Seperti kekerasan merupakan hal yang wajar di dunia. Atau malah sudah menjadi aktivitas sehari-hari?

Mata Jieun memutar singkat, sorot matanya terkesan malas ketika mendapati sosok pria dibalik ruangan kaca itu. Pria yang sama dengan senyum dan tatapan yang sama juga. Juga seikat wortel yang ia bawa.

"Aku sudah bilang, berhentilah menjenguk dan membawakan aku wortel."

Pria itu terkekeh ringan. Tentu saja ia tak dapat mendengar apa yang Jieun ucapkan karena keduanya harus terhubungan dengan telepon di depannya untuk saling berbicara.

Jieun mengangkat gagang telepon itu dengan kasar, kembali mengulang kalimat yang sama dengan raut wajah yang terlihat sangat kesal.

"Kau menyukai wortel kan? Lee Jieun? Atau harus aku panggil Coinín?"

Jieun mendecih singkat.

"Jason, please. Berhenti."

"Ji, ayo keluar. Sidangmu hanya tinggal seminggu lagi kan? Aku akan jadi saksi disana dan mengeluarkanmu dari penjara gila ini."

"Aku bahkan pantas menerima hukuman." Ujar Jieun.

"Juga luka di seluruh wajahku." Lanjutnya lagi.

Keduanya kini saling tatap satu sama lain dengan sorot mata yang berbeda. Jieun dengan sorot mata bosannya dan Jason dengan sorot mata penuh kekhawatiran.

Benar, pria itu adalah Jason. Dia satu-satunya tamu yang selalu mengunjungi Jieun di jam yang sama. Tak pernah telat saat datang dan tak pernah juga telat saat waktu besuk habis.

"Berhentilah datang kesini. Mungkin ada beberapa orang yang mengunjungiku dan selalu keduluan olehmu." Ujar Jieun.

"Siapa? Bukankah kau hanya punya aku?"

Jieun mengangguk. "Benar, hanya kau. Tapi--"

"Ji, aku tak pernah meninggalkanmu. Bahkan disaat seperti ini hanya aku yang ada disisimu, kan?"

"Jason, aku punya keluarga."

"Benar, Ji. Aku tahu. Dan kau selalu mengeluh karena keluargamu seperti itu."

Jieun menghela napasnya. Merasa bosan karena selalu ini yang menjadi topik pembicaraan mereka.

"Papah apa kabar?"

"Ah, pria tua itu? Dia baik, sangat baik setelah melakukan konferensi pers dan menyatakan rasa kecewa dan ketidaktahuan akan perilakumu yang seperti ini."

"Kau tidak kembali kesana?"

"Ke bisnis gelap ayahmu?"

Jason mendecak pelan seraya mengubah posisi duduknya, menumpukan satu kakinya pada kaki yang lain serta menopang dagu dengan satu tangannya.

-VIU SERIES-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang