Erix sekarang tampak syok melihat mermaid cantik yang ia selamatkan adalah mermaid yang pernah ia temui saat kunjungan ke Kota Gizaros. Mermaid tersebut mengaku namanya Aurelia dan dia merupakan putri Raja Laut Triton. Namun, pertemuan itu di 2.500 tahun yang akan datang, sedangkan ada Aurelia lain di sini sekarang, di hadapannya.
"Bukan, nama saya Clio ...." Dia behenti berucap karena kaget saat berbicara. Suara yang terdengar tidak sumbang lagi. Justru lancar dan terdengar merdu. Ia mengusap-usap wajahnya dan tercengang karena tidak merasakan kulit kasar lagi. Sekarang terasa lembut di tangan dan kenyal. "Aku ... wajahku ...."
Erix mengeluarkan cermin dari body bag-nya dan diberikan pada mermaid itu. "Ini."
Clio awalnya ragu, tetapi tetap ia ambil cermin tersebut. Saat menatap pantulan wajahnya sendiri, Clio seketika menangis.
"Wajahku ... wajahku tidak buruk rupa lagi. Dan ... suaraku ... apa suaraku masih terdengar aneh saat berbicara ...?"
Erix tersenyum. "Tidak terdengar aneh kok. Malah enak untuk di dengar."
Air mata Clio makin berburai, mengalir membasahi pipinya yang tampak kemerah-merahan. "Terima kasih ... terima kasih ...."
"Sepertinya kau salah paham. Aku menolongmu tidaklah cuma-cuma, kau harus membayarnya." Erix terlihat tersenyum seperti pemburu yang mendapatkan hewan buruannya.
Sebenarnya dia tidak mau bertingkah seperti itu, tetapi itu harus ia lakukan supaya tidak menimbulkan kecurigaan yang mana akan membawa banyak pertanyaan. Seperti; Kenapa kau membantuku? Apa untungnya bagimu? Atau pertanyaan-pertanyaan lain yang merepotkan untuk dijawab.
"A-apa yang kau ingin aku lakukan?" Clio sempat merasa cemas, tetapi mengingat kutukannya telah dicabut, tidak ada alasan baginya untuk menolak.
"Tidak sulit. Bawakan aku mutiara hitam sebelum malam besok. Jika kau tidak bisa mendapatkannya, kutukanmu akan kembali," ujar Erix. Sebenarnya dia sendiri tidak tahu cara mengembalikan kutukan. Lagi pula, energi kegelapan yang menjadi sumber kutukan di tubuh Clio sudah ia musnahkan sepenuhnya.
"Hanya itu?"
"Ya, hanya itu."
"Syukurlah," ujar Clio melepas helaan napas. "Itu mudah."
"Kerjakanlah, bawakan aku satu buah saja."
"Baik, Tuan!" seru Clio. Ia merangkak menuju bibir pantai dan menceburkan dirinya ke laut.
"Tuan katanya." Erix sedikit tertawa. Untuk sepersekian detik, ia teringat dengan Lucius.
Sambil menunggu kembalinya Clio, Erix mengeluarkan semua benda yang sudah ia kumpulkan. Bongkahan besar batu onyx, batu obsidian dan giok hitam.
Erix mengusap dagunya sambil berpikir, bagaimana cara mengolah bahan mineral tersebut menjadi benda yang ia butuhkan untuk menangkap energi kegelapan pada bulan darah kelak.
Sebuah ide terlintas di kepalanya. Mesin bubut, itulah alat yang pernah ia lihat untuk membentuk kayu, batu bahkan logam menjadi suatu benda lain dengan ukuran diameter yang sama persis. Alat itu yang ia butuhkan sekarang. Namun, sayangnya di zaman 2.500 tahun di masa depan saja alat itu belum ada. Apa lagi di zaman ini. Hal itu membuat Erix kembali memutar otaknya.
Pemuda itu sekarang berjalan mondar mandir memutari semua batu yang ia miliki untuk mencari ide lain. Berharap ada wahyu yang datang entah dari mana membantunya untuk berpikir.
"Apa yang bisa aku lakukan ya?" Erix melihat tangannya sendiri. "Tidak, ini bukan perkara apa yang harus aku lakukan, tetapi apa yang aku miliki."
Energi kegelapan dan cahaya bersatu di tangannya. Kedua energi itu saling menempel satu sama lain tetapi tidak saling mengusik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dungeon Hallow 2
FantasíaSekuel Dungeon Hallow ~Tamat~ Kelanjutan kisah pertualangan Erix yang terdampar di dunia lain bersama pelayannya, Lucius Ventus. Namun, perang besar antara Pasukan Gabungan Leavgard dan Asmodeus membuat sang tokoh utama lenyap dalam pelukan Haruka. ...