39 : Salamander vs Thanom

651 83 36
                                    

Lucius berdiri di bawah satu-satunya lampu yang menyala pada ruang bawah tanah itu. Ia merentangkan kaki dan tanganya seakan sedang menunggu sesuatu. Tidak hanya Lucius di sana, terlihat juga Gavin yang tampak bersandar di dinding ruangan. Dan di sebelah Gavin, terdapat sebuah rudal hydrogen yang sengaja disimpan. Bom itu adalah satu dari dua bom yang dibuat Lucius saat perang pertama. Untuk saat ini, masih belum digunakan karena terlalu berbahaya.

Dari cahaya pada lampu, terlihat gambar tiga bintang hitam berderet di punggung tangan Lucius. Dua bintang penuh dan satu bintang terisi setengah lebih.

"Lucius ... kau shensin bintang tiga ...." Gavin sedikit tergemap.

"Ya. Aku adalah pembawa kelas baru ke Leavgard. Jadi, aku tidak butuh siapa pun untuk menaikan kelasku. Sekarang aku bukan lagi Gunslinger Class, aku sekarang Granadier Class!"

Potongan-potongan zirah yang sudah dilengkapi mesin roket kecil, terbang mendekat. Semua potongan itu melekatkan diri mereka secara spontan ke tubuh Lucius dan bersatu membentuk zirah utuh. Sekarang, Lucius tampak seperti prajurit masa depan dengan zirah canggihnya. Berwarna hitam sehingga menyatu dengan kegelapan.

Gavin sangat tercengang dengan apa yang ia lihat. Zirah itu, tercipta diluar ilmu pengetahuan umum dalam pembuatan senjata, membuatnya seakan datang dari dunia lain. Ia pun masih tidak menyangka kalau dialah yang membuat beberapa bagiannya sesuai instruksi Lucius.

"Inikah futuristic armor suit yang kau sebutkan itu?" ujar Gavin dengan mata melebar.

"Camelot Armor Suit X, disingkat CAS-X," jawab Lucius dengan bangga.

Gavin hanya bisa tersenyum dan terpukau tiada henti. Ia tidak bisa berkata-kata sekarang. Kumis dan janggut putihnya bergetar seakan ikut terpukau.

Lucius berjalan mendekati dinding yang terdapat sebuah tuas. Suara hentakan langkahnya terdengar tegas menandakan zirah itu cukup berat. Dan kepala Gavin ikut bergerak mengikuti langkahnya dengan mulut yang belum tertutup.

Setelah Lucius memposisikan tuas itu ke bawah, sebuah lubang terbuka di langit-langit ruangan. Gelapnya malam yang ditaburi gugusan bintang, terlihat dengan jelas pada lubang tersebut. Beberapa bulir salju yang tampak lebih seperti kapas, turun dengan perlahan dan tergeletak di lantai ruangan.

"Ini waktu yang pas untuk menguji armor suit ini," ujar Lucius. "Aku pergi dulu."

Lucius melesat dengan sangat cepat menggunakan roket pendorong di kakinya. Sekali lagi, Gavin hanya menganga tak percaya.

Dwarf itu berjalan dengan otak yang berpikir dengan cepat. Ia masih tidak menyangka kalau teknologi yang selalu dikatakan Lucius, akan sehebat ini. Ia sekarang naik ke ruang atas melaui tangga dan ke luar dari rumah itu lalu duduk pada undakan di teras. "Dia bahkan bisa terbang tanpa sihir," ujarnya menatap Lucius yang sudah melewati tembok raksasa. Energi dorong roket pada kakinya, membuat pelayan Erix itu terlihat seperti komet.

"Chief, apa yang harus kita lakukan?" tanya seorang dwarf yang datang mendekat. Ia tidak sendiri, puluhan dwarf suku Goldbeard bersamanya.

"Kita tidak ikut peperangan, jadi kita menunggu hasilnya untuk sementara," ujar Gavin.

"Kebetulan sekali, kami juga sedang menunggu. Boleh kami ikut?" Banshee datang mendekat. Gerombolan zombi yang terlihat waras, wanita dan anak-anak dari ras Eucoala dan Drak ikut bersamanya.

"Aku juga. Sangat membosankan disaat tidak ikut ambil bagian dalam medan perang." Dari atas, Vepiqueen datang dan mendarat di depan rumah. Ratu ras Lebah Apis Deidara itu, meski terlihat seperti monster lebah besar, ia tidka terlalu menyeramkan. Lebih seperti wanita yang mengenakan topeng serangga.

Dungeon Hallow 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang