---
Jam weker di atas nakas masih menunjukkan pukul satu dini hari, namun Jungkook sudah terjaga sejak satu jam yang lalu. Hanya duduk terdiam di tepi ranjang, memandangi Taehyung terlelap seraya memeluk bantal guling. Wajah damainya malah membuat relungnya sakit karena disiksa rasa bersalah. Seharusnya, Taehyung bisa merasakan kebahagiaan seutuhnya...
"Maafkan aku, Tae..."
Bibir tipis itu berucap lirih, diiringi air mata yang meluruh perlahan. Sebelum akhirnya beringsut turun dari ranjangnya, meraih jaket yang tergantung di samping pintu dan mengenakannya dengan cepat lalu melangkah keluar kamarnya sepelan mungkin. Tidak ingin membangunkan siapapun lalu melangkahkan kakinya lagi menuju pintu utama, membukanya perlahan dan menimbulkan bunyi derakan yang ribut lalu menutupnya lagi setelah berada di luar, berjalan tidak tentu arah. Tak perduli akan hawa dingin yang menusuk tulang. Ia hanya ingin menikmati waktunya, sendirian.
.
.
Taehyung terbangun dari tidurnya lalu terhenyak kala tidak mendapati Jungkook di sampingnya membuatnya beringsut turun dari ranjang dan mencarinya di ke kamar mandi dan dapur. Nihil, tidak ada Jungkook disana membuatnya mendesah berat. Rasa khawatir mulai menggelayuti. Memeriksa kondisi Jimin di kamarnya sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk meraih jubah tidurnya dan bersiap mencari keberadaan Jungkook dimana pun. Menggenggam erat alat bantu dengar yang ia temukan tergeletak di atas nakas. Jungkook dengan sengaja melepaskan benda itu, padahal ia sangat membutuhkannya.
Dengan rasa cemas yang semakin menyiksa, ia mempercepat langkahnya seraya menyerukan nama Jungkook berulang-ulang. Ia semakin merasa frustasi kala tak mendapati pria itu di manapun. Taehyung takut sekali.
"Jungkook, kamu dimana...?"
.
.
"Heh, kau ini tuli ya? Ku bilang, serahkan semua yang kau punya pada kami, jika masih ingin selamat."
Jungkook hanya menatap ketiga pria bertampang sangar itu, tak sekalipun mengindahkan apapun yang di ucapkannya. Mencoba membaca gerak bibir mereka pun percuma, kepalanya terlanjur pening karena mencium bau alkohol yang begitu menyengat menguar dari bau nafas mereka dan membuat perutnya terasa teraduk. Ia masih diam saja kala salah seorang dari mereka meremat kuat kaus bagian depannya, seperti berniat mencekiknya dan tubuh kurusnya terasa terangkat. Namun, tak membuatnya gentar sedikit pun. Jikalau memang ia akan berakhir di tangan mereka, Jungkook sudah tidak perduli lagi. Mungkin, ini adalah cara yang Tuhan berikan untuk menolongnya dari segala permasalahan yang ia hadapi.
Hanya diam kala salah seorang dari mereka mulai mengeluarkan pisau lipat dari balik jaket yang mereka kenakan. Ia hanya berharap, semoga kepergiannya bisa membawa kebahagiaan yang sejati bagi Taehyung maupun Jimin, putra semata wayang mereka. Dan semoga Tuhan, berkenan menerimanya untuk menempati tempat terindahnya di surga.
Jungkook memejamkan matanya perlahan, berharap ia akan pergi tanpa merasa rasa sakit. Sampai seruan keras dari seseorang membuat tersentak, menatap sosok itu dengan maniknya yang melebar.
Tidak, bukan inilah yang ia harapkan.
"Taehyung...?"
.
.
Taehyung sudah merasa lelah sekali, namun semua itu tidak mengurungkan niatnya untuk terus mencari keberadaan Jungkook, dimana pun dan sejauh apapun. Jimin sudah aman bersama Namjoon, sang kakak yang segera datang ke rumah setelah ia menghubunginya dan mengatakan kalau ia kehilangan Jungkook yang entah kini berada dimana. Namjoon sempat melarangnya dan memintanya untuk menunggu di rumah sedangkan ia dan kedua teman Jungkook, Mingyu dan Yugyeom yang bergerak mencarinya. Namun, Taehyung menolak itu semua. Ia bersikeras untuk melakukannya sendiri dan ia yakin, kalau semua itu akan berhasil. Walau pun sulit, ia tidak akan menyerah. Ia yakin, Jungkook akan kembali bersamanya. Seperti janjinya pada Taehyung di depan pendeta, di atas altar dan Tuhan sebagai saksinya, kalau Jungkook akan selalu bersamanya hingga batas waktu yang tidak terbatas.