***
"Hosiki, keinginan terbesarmu apa ?"
"Eum, jadi bintang yang terang seperti ayah dan membuatmu bisa melihat lagi dengan begitu pasti ibu akan bahagia."Yoongi berhenti mendongakkan kepalanya, meraba kursi kayu yang ia dan sang adik tempati mencari tangan kurus yang selalu terasa hangat digenggamannya.
"Hosiki..."
"Biarkan aku mengembalikan apa yang sudah kurenggut dari kalian. Mungkin aku tak bisa mengembalikan ayah tapi aku bisa pergi dari hidup kalian, itu yang terbaik."matanya mengembun, bulir itu meluruh dipipi pucatnya. Tangan kurus itu tak jua ia temukan membuatnya terisak. Ucapan sang adik menohok relungnya untuk kesekian kali sejak kepulangannya dari rumah sakit.
"Kau tidak akan pergi kemanapun, kalaupun harus akan kupastikan aku akan mendampingimu."
"Kak Yoon..."
"Cukup Min Hoseok! Sebaiknya kau berhenti berteman dengan Kim Taehyung itu, kau sudah tertular aneh seperti bocah kelebihan tenaga itu. Lebih baik kita masuk kedalam rumah, hawa dingin tidak bagus untuk kondisimu."ujarnya menutup obrolan yang semakin keluar dari jalurnya, meraih tongkat penunjuk arahnya lalu beranjak kedalam rumah membuat Hoseok menunduk dalam. Ia hanya lelah menjadi sumber masalah. Ia ingin kakaknya kembali kerumah sang ibu dan hidup rukun dengan begitu ia akan tenang jika waktunya sudah habis.
"Kenapa kau semakin memupuk egomu, kak. Kau tak menyadari kalau sikapmu ini membuatku semakin sakit karena rasa bersalah."
**
"Memangnya apa yang sudah ia renggut dariku ? Kenapa dia sulit sekali mengabaikan rasa benci wanita tak berhati itu padanya. Semakin dewasa dia malah semakin bodoh padahal dia adikku, putra keluarga Min yang terkenal cerdas."
Hoseok mengulum senyum melihat sang kakak yang sibuk menumpuk bantal, bersiap untuk tidur. Memeluknya singkat membuatnya dapat pukulan bantal dikepala.
"Dasar bodoh! Kalau aku terkena serangan jantung lalu mati bagaimana ? Kau akan sendirian, mau ?"
"Kau kan tidak punya penyakit sepertiku, kak Yoon. Mana mungkin kau akan terkena serangan jantung."ujarnya sembari terkekeh, Yoongi diam lalu membaringkan dirinya membelakangi sang adik yang tersenyum pahit. Ikut membaringkan dirinya disebelah Yoongi yang sibuk menahan tangis.
"Belajar untuk menerima kak Yoon, kalau adikmu ini tak punya waktu yang banyak untuk selalu mendampingimu."
"Tidak, aku akan memohon pada Tuhan agar waktumu lebih panjang. Aku juga akan meminta ayah untuk menjemputmu jika ia sudah mendapat cicit dari kita berdua."Hoseok diam membiarkan kaus putihnya basah, menggigit bibir dalamnya menahan tangisnya yang bisa pecah kapan saja. Munafik sekali dirinya jika rela meninggalkan sang kakak, tidak. Ia bahkan begitu takut untuk mati tapi apa yang bisa ia lakukan saat dokter yang menanganinya saja sudah angkat tangan dan berharap pada pendonor yang entah kapan ia dapatkan. Ia sudah lelah bertahan dan berteman dengan rasa sakit, ia mau menyusul ayahnya saja siapa tahu ia akan menyecap bahagia.
"Kak Yoon..."
Tidak ada jawaban, hanya isakan lirih yang terus didengarnya.
"Berjanjilah kalau kau akan terus bahagia walaupun nanti aku tidak ada."lagi-lagi hanya isakan membuat bulir airmata yang sejak tadi mati-matian jatuh dipipinya, keduanya menangis karena rasa sakit yang sama.
'Tuhan kumohon jangan bawa adikku, aku tak bisa hidup tanpanya. Dia udara dihidupku. Kabulkan permohonan makhluk lemah ini, aku mohon...'
Yoongi tak pernah menangis, ia selalu menahan perasaannya bahkan ketika ayahnya pergi untuk selamanya dan ia kehilangan indera penglihatannya diusianya yang masih sembilan tahun namun tidak demi adiknya, kembarannya. Sosok lain yang pernah berbagi tempat dengannya dalam kandungan sang ibu yang terlahir dalam kondisi berbeda dengannya. Ia tidak bisa berjalan normal tanpa alat khusus yang terpasang dikedua kakinya yang bengkok kedalam, tak bisa kelelahan bahkan untuk aktivitas harian yang ringan walau adiknya sendiri tipikal orang yang tak bisa diam berujung kolaps karena memaksakan dirinya yang berbeda, penyakit terkutuk itu bersarang ditubuh ringkihnya sejak berumur satu minggu. Memakai alat pemompa jantung sejak batita, tak bisa lepas dari alat-alat medis dan selalu membuatnya kesulitan menahan rasa sedihnya. Ia takut adiknya pergi, ia takut tak punya waktu yang cukup untuk membuat adiknya bahagia dan ia takut kalau adiknya menyerah dan membawa pergi segala rasa sakit dan kepedihannya tanpa ungkapan rasa cinta dari sang ibu yang tak pernah menganggap adiknya ada dan kini begitu membenci adiknya yang berhati kecil dan rapuh. Ia menangis sembari bersimpuh dikapel, mengadu pada Tuhan akan segala rasa sakitnya melihat penderitaannya yang tak kunjung usai. Satu pertanyaan yang terus bercokol dalam benaknya, kenapa nasib mereka tak sama padahal mereka kembar ? Kenapa ia tak dapat rasa sakit itu juga ? Kenapa dan kenapa yang akhirnya tumbuh pertanyaan lainnya yang membuatnya sakit kepala.
![](https://img.wattpad.com/cover/143095240-288-k7609.jpg)