***
"Aku pulang..."seru pemuda berambut cokelat pucat kala memasuki rumah besarnya pelan dengan wajah lelah, menatap sekeliling lalu menghela nafas berat.
"Oh, Tae sudah pulang. Mau aku ambilkan minum ? Atau mau langsung aku siapkan makan siangnya ?"senyumnya terbit mendapati sosok wanita paruh baya yang menghampirinya dari arah dapur, mengambil alih tas sekolahnya walau ia terlihat sungkan.
"Aku bisa membawanya sendiri, bibik. Rumah sepi sekali, yang lain belum pulang ya ?"tanyanya yang langsung dibalas anggukan sang bibik membuatnya kembali menghela nafas.
"Kalau begitu aku pamit ke kamar ya bik, bangunkan aku jika sudah waktu makan malam."tanpa menunggu respon sang bibik pemuda itu langsung berlalu kekamarnya, menghempaskan tubuhnya kearah ranjang tanpa berganti pakaian. Ia hanya butuh tidur sekarang.
**
"Tae tidak apa-apa ?"Tae menatap linglung kearah sang bibik yang menatapnya khawatir, pemuda itu menggeleng lalu beringsut duduk bersandar pada kepala ranjang seraya mengatur nafasnya yang masih tak beraturan, mengusap wajahnya yang penuh peluh kasar. Sekelibat memori kelam itu terus terputar membuatnya meremat rambutnya keras dan itu membuat sang bibik panik luar biasa.
"Tae... sadarlah nak, jangan seperti ini."pemuda itu melemas dalam pelukan erat sang bibik, lalu menangis tanpa suara merutuki dirinya entah untuk apa.
"Kenapa lagi dia ?"tanya pemuda berambut perak pada si jangkung yang baru saja turun dari lantai dua, mengangkat bahunya acuh lalu kembali ke tempat duduknya semula menikmati sup daging idamannya membuatnya kesal bukan main.
"Apa traumanya belum hilang sepenuhnya ?"tanya si bungsu yang sedari tadi menatap kearah pintu berwarna putih pucat yang masih tertutup rapat, manik sayunya terlihat khawatir.
"Abaikan saja dia, segera habiskan makan malam kalian. Aku akan ke ruang kerjaku, banyak tugas yang menumpuk."si sulung beranjak dari duduknya meninggalkan adik-adiknya yang kini mulai melanjutkan makan malam mereka dalam keheningan, memilih menenggelamkan dirinya pada tumpukan berkas yang harus diceknya segera agar rasa tak nyaman yang mengganggu benaknya hilang.
**
"Kak Tae, aku masuk ya..."Tae menatap kearah si bungsu yang memasuki kamarnya dengan segelas susu cokelat ditangannya, mendekatinya perlahan lalu mendudukkan dirinya ditepi ranjang.
"Harusnya kau tidak kemari, Kook. Aku tidak mau kau bertengkar lagi dengan Kak Suga setelah ini."ujarnya seraya meneguk sedikit susu cokelatnya lalu menaruh gelas itu dinakas, si bungsu hanya diam lalu merebahkan dirinya disisi ranjang yang kosong membuat pemuda itu menghela nafas berat.
"Kook, jangan tidur disini. Kembali ke kamarmu, aku sedang tidak ingin bertengkar dengan siapapun."ujarnya putus asa namun tak diindahkan si bungsu yang kini mulai terlelap seraya memeluk guling membuatnya mengacak rambut cokelat pucatnya frustasi.
"Anak ini..."desisnya lalu menyelimuti si bungsu sedangkan dirinya memilih membuka jendela penghubung antara kamar dan balkonnya, berdiri disana seraya memandangi langit kelam dengan sedikit bintang yang menghiasi. Satu bulir menitik dipipinya.
"Maafkan Tae, ibu...ayah... harusnya aku yang pergi bukan kalian... aku yang lebih pantas..."bulir-bulir itu berubah menjadi isakan lirih, ia meremat besi penyangga itu erat sesekali memukulinya dengan sekuat tenaga lalu meluruh seraya memukul dadanya yang sesak rasa sakit itu menghimpit dadanya. Terlalu larut dalam laranya membuat pemuda itu tak menyadari sepasang manik sayu menatapnya dengan kedua pipi yang basah, menggigit bibir bawahnya keras agar isakannya tak terdengar oleh sang kakak.