Cokelat

291 14 0
                                    

.

.

.

"Bu, cokat Kookie macih ada kan ?"tanya si bungsu setelah jatah makan malamnya habis pada sang ibu yang sibuk mencuci piring bekas makan mereka, wanita berapron merah muda itu mengerung sesaat lalu mengangguk setelahnya.

"Ada, dilemari pendingin."ujarnya disertai senyuman lembut yang membuat si bungsu hampir memekik kegirangan, bocah baru menginjak 3 tahun itu segera menarik sebuah kursi agar bisa membuka pintu freezer nan tinggi menjulang, setelah menaiki kursi dan membuka pintu lemari pendingin itu manik bulatnya berbinar mendapati apa yang dia cari, kudapan manis kesukaannya.

"Ambil satu saja ya, bunny. Satunya lagi punya kak Ji."mendengar pesan sang ibu yang memperingatinya tentang jatah cokelatnya yang tinggal satu membuat bocah gembul itu memberengut lalu turun dari kursi, berjalan malas kearah sang kakak yang sibuk dengan tugas sekolahnya.

"Nih, puna kak Ji."ujarnya dengan pipi sebelahnya yang mengembung membuat bocah 8 tahun itu menatapnya bingung namun tetap menerima sodoran sebungkus cokelat itu."terimakasih."

Si bungsu hanya diam, mulai membuka pembungkus cokelatnya walau asal dan melahapnya penuh penghayatan, memekik girang kala lidahnya menyecap rasa manis kesukaannya itu sampai sebatang cokelat itu habis tak tersisa."yah, abic.."

Bibir kecilnya mengerucut lucu, menatap sendu pembungkus cokelat yang kini lusuh tak berisi. Mata bulatnya menyayu.

"Ah, coba bica disihil bial ada lagi."gumamnya pelan namun masih bisa tertangkap jelas pendengaran Seokjin, bocah yang kini duduk dikelas 2 sekolah dasar itu tersenyum samar.

"Ya, Tuhan belilah Kookie cokat lagi. Kalo Tuhan kacih Kookie cokat lagi, Kookie jaji ngaku kalo Kookie buat bacah kacul kemalin dan belhenti nuduh kak Ji yang nonpol. Amien."

Seokjin mendengus geli kala mendengar doa yang dipanjatkan sang adik, lalu berpura-pura kembali fokus pada tugas sekolahnya kala bocah itu nampak berbinar mendapat sebungkus cokelat utuh dihadapannya lalu kembali memanjat doa akan rasa syukurnya mendapatkan hadiah dari Tuhan. Seokjin terkekeh dalam hati.

"Mau bubu buangkan plastik pembungkus cokelatnya ?"Seokjin terkesiap mendapati sang ibu sudah duduk disampingnya dan tersenyum lembut kearahnya membuat kedua sudut bibirnya melengkung."mohon bantuannya."

Sang ibu tertawa tanpa suara lalu kembali berlalu menuju dapur, membiarkan kedua putranya kembali melanjutkan kegiatannya. Seokjin dengan tugas sekolahnya yang hampir selesai dan si bungsu dengan sebungkus cokelat manis hadiah dari Tuhan---milik Seokjin dengan perlahan, takut habis lagi sepertinya. Dasar anak-anak.

.

.

.

Omake


"Kookie kenapa bu ?"tanya Seokjin sembari melongokkan kepalanya diantara celah pintu kamar sang adik yang terbuka, disana ada sang ibu yang tengah menuangkan sebuah obat berbentuk serbuk keatas sendok yang berisi sedikit air dan menuntun sang adik untuk meminumnya. Bocah itu nampak memberontak lalu mengangis sambil mengusap pipinya yang bengkak.

"Sakit gigi. Susah dikasih tahu kalau habis makan manis itu langsung sikat gigi atau minum air putih ini malah habisin cokelat panasnya ayah jadi bengkak deh gusinya."Seokjin meringis mendengar serentetan omelan sang ibu untuk sang adik yang kini masih sesenggukan itu.

"Gapapa, Kookie. Nanti sakitnya hilang kok. Kalo udah sembuh, kak Ji ajak makan eskrim moca, mau ?"

Manik bulat itu mengerjap penuh binar senang, menatap sang kakak sumringah."jaji?"

Jin terkekeh, mengaitkan kelingkingnya pada kelingking mungil sang adik."janji."

Bocah 3 tahun itu tersenyum lebar, menampilkan gigi susunya yang lucu, sejenak melupakan rasa sakitnya."bu, Kookie makan ekim kan ?"

Sang ibu menghela nafas panjang dan mengangguk."oke."

Si bungsu berlonjak kegirangan lalu menjerit kesakitan setelahnya karena gusinya kembali berdenyut nyeri."aduh, gigi Kookie nakal bu, huuuweee."

Seokjin dan sang ibu saling berpandangan dan terkekeh, sesekali membujuk si bungsu agar berhenti menangis.


END

BANGTAN COOKIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang