---
"Mulai sekarang, kakak yang akan bekerja. Kau hanya cukup menjadi loper koran. Demi Tuhan, Jeon. Kau itu masih berumur 7 tahun dan kau bekerja di segala tempat dalam sehari. Kau mau cepat mati dan meninggalkanku sendirian, begitu? Kalau begitu, mari mati bersama agar aku tidak perlu merasakan rasa sakitnya kehilangan seseorang yang begitu berharga dalam hidupku!"
Jeongguk semakin menangis, memeluk sang kakak dari belakang yang juga tersedu sembari menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak karena penyakit dan kesedihannya untuk sang adik yang selalu dia repotkan selama ini. Ini memang semua karenanya. Andai kondisi tubuhnya tidak lemah dan tidak sakit-sakitan, pasti adiknya tidak akan turun tangan dan bekerja keras untuk menghidupi kehidupan keduanya dan untuk sekadar membeli obat untuknya di apotek yang harganya tidaklah murah. Seokjin merasa benar-benar tidak berguna. Dia bukanlah kakak yang baik untuk Jeongguk.
Jeongguk menggeleng ribut. Dia tidak mungkin membiarkan sang kakak untuk bekerja. Itu hanya akan memperburuk kondisi Seokjin. Jeongguk masih sanggup untuk mengerjakan semua pekerjaan itu dan Jeongguk yakin dia tidak akan jatuh sakit. Semua pekerjaannya tidaklah sulit. Dia sudah biasa melakukannya."aaaa..."
Jeongguk berusaha keras untuk bisa mengeluarkan sanggahannya walaupun itu tidak mungkin dan hanya suara sengaunya yang keluar. Seokjin menatapnya dengan nanar sebelum meraih kedua tangan mungilnya dan dia genggam dengan erat. Manik teduh itu menyiratkan kesedihan membuat relung Jeongguk serasa di remas. Jeongguk tidak pernah tahan jika kakaknya sudah seperti ini dan Seokjin selalu saja menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang menimpa keduanya. Padahal, itu semua sudah takdir dari Tuhan...
"Tolong turuti permintaan kakak sekali saja, Gukie...Gukie sayang kakak, kan?"Jeongguk kembali menggeleng ribut, kini dirinyalah yang menggenggam kedua tangan sang kakak."Gukie tidak mau menuruti permintaan kakak? Gukie sudah tidak sayang kakak, ya? Gukie tahu? Itu membuat kakak sedih dan disini begitu sakit."
Tangisan Jeongguk semakin pecah lalu mendekap sang kakak dengan eratnya. Seokjin sibuk menyeka air matanya dengan kasar. Ah, relungnya sakit sekali. Sebenarnya dia sama sekali tidak berniat membuat Jeongguk menangis seperti ini. Tetapi, dia harus membuat Jeongguk mengerti kalau dirinya tidaklah sekuat itu. Seharusnya, diumurnya yang sekarang Jeongguk hanya perlu di sibukkan dengan kegiatan sekolah dan bermain bukannya bekerja keras membanting tulang ringkihnya seharian. Terkadang, Seokjin bertanya-tanya kesalahan apa yang di perbuat sang adik di masa lalu hingga membuatnya memiliki ayah yang kejam dan tidak bertanggung jawab, ibu yang sakit-sakitan dan kakak yang tidak berguna. Harusnya, Jeongguk bisa hidup dengan layak dan bahagia bukan terus di rundung nestapa setiap hari seperti ini. Seokjin menangis lagi lalu membalas dekapan sang adik tak kalah eratnya sembari menggumamkan kata maaf berulang-ulang.
"Maafkan kakak Gukie. Maafkan kakak yang tak pernah bisa menjadi kakak yang baik dan tidak bisa memberikanmu penghidupan yang layak seperti janji kakak pada ibu. Maafkan kakak..."
Tangan mungil Jeongguk menyeka kedua pipi basah Seokjin lalu di kecupnya dengan lembut, kepalanya menggeleng kecil dan mencoba mengucapkan kata penenang untuk kakaknya. Dia ingin sekali mengatakan sederet kata ini untuk Seokjin, kalau Jeon Jeongguk selalu bahagia dan bersyukur memiliki kakak seperti Seokjin. Kakaknya adalah kakak terbaik di dunia. Tetapi, Jeongguk sama sekali tidak bisa mengucapkannya...
Dia hanyalah seorang tunawicara...
"Gukie menulis apa?"tanya Seokjin kala Jeongguk mengurai dekapan mereka dan berlari memasuki kamarnya, mengambil buku lama Seokjin semasa sekolah dasar dulu. Saat dirinya masih bisa bersekolah. Dan menuliskan sederet kata disana walaupun tulisan itu nyaris tak bisa di baca saking berantakannya. Jeongguk memang tidak pernah sekalipun mengenyam ilmu di sekolah, tetapi walaupun begitu Seokjin dan mendiang sang ibu selalu mengajarkannya agar bisa membaca dan menulis. Jeongguk memang anak yang pintar.