---
Jeongguk menarik nafas berat, untuk kesekian kali. Mendekap map hijau yang sedari tadi di pegangnya. Itu berkas rekam medisnya setelah satu minggu lalu melakukan serangkaian tes sesuai anjuran dokter dan hasilnya cukup mengejutkan. Jeongguk tak jarang berakhir melamun sepanjang jalan dan di cerca para pengunjung lain karena dianggap mengganggu.
Dadanya terasa begitu sesak dan sakit setiap mengingat perbincangan singkatnya dengan dokter Choi. Ia baru sadar kalau ada yang salah pada tubuhnya dan itu berbahaya jika tidak segera mendapatkan penanganan lebih lanjut. Sang dokter menyarankannya untuk melakukan beberapa terapi namun saat itu juga Jeongguk memilih menolaknya, selain karena masalah biaya, ia juga tidak yakin akan dirinya sendiri dan merasa tidak sanggup untuk menjalaninya.
Dan ia memilih memasrahkan dirinya pada kehendak Tuhan. Toh, sejak dulu kehadiran dirinya tidak begitu penting bagi siapapun.
.
Bus yang di tumpanginya akhirnya datang. Jeongguk duduk di kursi belakang, dekat jendela. Pikirannya mengawang, rekam memorinya memutar percakapan Taehyung dengan Jimin beberapa saat lalu yang membicarakan akan hadirnya sosok makhluk mungil nan menggemaskan di tengah-tengah mereka dan tak lupa juga raut bahagia yang terpancar jelas di wajah mereka yang langsung saling mendekap dan bertukar pagutan begitu mesranya di ruang tengah. Jeongguk melihat itu semua dan hanya bisa mematung di undakan teratas anak tangga. Tubuhnya melemas, ia merasa begitu terpukul namun tidak bisa berbuat banyak. Sejak awal, ia memang sudah kalah telak.
Menarik nafasnya dalam. Matanya seketika memanas, pelupuk matanya mulai penuh oleh airmata. Astaga, kenapa ia mendadak menjadi secengeng ini. Bukankah, sejak dulu ia sudah terbiasa akan rasa sakit?
Seharusnya, ia bersyukur, ikut merasakan kebahagiaan keduanya karena sebentar lagi mereka akan kedatangan anggota baru yang lucu. Seharusnya, Jeongguk menghaturkan ucapan selamat bukannya memilih menjauh dan menghabiskan waktunya berlama-lama di tempat kerjanya hingga di usir Yugyeom karena merasa risih akan raut sendunya yang selalu terhias di wajahnya. Jeongguk tersenyum kecut mengingat hal itu. Ternyata, ia memang tidak pernah sekuat itu...
.
.
"Jadi, kapan Jiminie akan melamar anak mama?"
Suara Sihye mampu mengalihkan semua atensi yang ada di ruang makan, Jimin bahkan tersedak sup kerang pedas yang tengah disantapnya membuat Taehyung panik dan dengan segera mengangsurkan segelas air yang langsung di tandaskannya dalam sekejap. Bertukar pandang sejenak sebelum akhirnya menatap Sihye yang masih memandanginya dengan tatapan menuntut. Jimin meneguk ludahnya kasar.
"Secepatnya, ma. Ya, itupun kalau Taehyung mau."katanya diselingi candaan yang langsung mendapatkan cubitan sayang dari Taehyung di pinggangnya. Jimin meringis pelan karenanya, sedangkan Taehyung memberengut. Sihye tersenyum maklum melihatnya sebelum akhirnya melempar lirikan sinis kearah sosok lain disana yang mencoba memfokuskan dirinya pada jatah makannya sendiri.
"Dan kau, segeralah urus perceraianmu dengan Taehyungieku. Aku tidak mau kesayanganku harus menikah dengan perut membesar."katanya dengan nada mutlak membuat Jeongguk mengiyakannya walaupun dengan berat hati. Kepalanya tertunduk dalam. Makanan yang ada dimulutnya terasa sangat hambar dan tanpa sadar dua titik cairan merah menitik dari hidungnya, mengundang pekikan Taehyung dan seruan penuh amarah dari sang nyonya besar karena merasa acara makan malamnya terganggu dan menyuruhnya untuk segera beranjak dari tempatnya setelah membereskan kekacauan yang dia buat. Jeongguk tergagap lalu membereskannya dengan cepat, tidak peduli lagi dengan isi piringnya yang masih tersisa banyak. Semua yang ada di meja makan memilih berlalu, meninggalkan si jangkung Jeon yang berkutat dengan peralatan makan dan masak yang menumpuk di bak cuci dan suasana meja makan yang berantakan. Jeongguk menarik nafasnya lelah. Sejujurnya, ia letih sekali. Namun, ia tak memiliki pilihan selain menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia akhirnya bisa beranjak tidur saat jam dinding menunjukkan pukul dini hari. Menggelung tubuhnya dengan selimut usangnya. Membaca doa dan berharap hari esok bisa berbaik hati padanya.
.
.
Taehyung menyeret kakinya keluar kamar mandi. Tubuhnya lemas setelah berkutat dengan rasa mual yang selalu menyiksanya di pagi dan sore hari. Menghela nafasnya kala mendapati Jimin yang masih terlelap di ranjang tanpa terusik sedikit pun. Ia mencoba maklum karena Jimin baru saja pulang dari tugas dinasnya dan mungkin saja merasa lelah.
Taehyung mengusap perutnya yang masih rata. Ia lapar dan memilih beranjak dari kamarnya menuju ruang makan, berharap Jeongguk sudah menyiapkan sarapan untuk mereka dan ternyata ia hanya mendapatkan pemandangan dimana sang nyonya besar tengah memarahi si jangkung dengan cercaan tanpa peduli dengan keadaan Jeongguk yang tengah memotong bawang dengan tangan bergetar, berusaha keras menahan tubuh lemasnya agar tetap seimbang. Taehyung menghampiri keduanya dan menawarkan diri untuk mengambil alih tugas Jeongguk namun Sihye menolaknya dengan tegas dan kembali berseru keras pada Jeongguk yang tak jarang melakukan kesalahan dan menjatuhkan bahan makanan yang sebelumnya telah siap untuk di olah membuat sang nyonya berang dan tak segan mengayunkan tangannya dan sasaran utamanya adalah kepala. Taehyung mendengar ringisan lirih. Itu ringisan Jeongguk yang tampaknya merasa sakit di bagian kepalanya karena demi apapun, kekuatan tangan Sihye memang luar biasa kuat. Itu memang bukan hal baru bagi Taehyung melihat Sihye berlaku kasar pada si jangkung, namun tetap saja Taehyung tidak pernah merasa biasa untuk itu. Terkadang, ia merasa itu sangat keterlaluan tapi Taehyung tidak bisa berbuat apapun. Ia merasa segan pada Sihye yang sudah ia anggap seperti orang tua sendiri sejak kedua orang tuanya meninggal dua tahun lalu, setelah ia dan Jeongguk melangsungkan acara pernikahan mereka yang berawal dari perjanjian ayahnya dengan mendiang ayah Jeongguk yang memang sudah menjalin pertemanan sejak duduk di bangku sekolah.
Akhirnya, makanan sudah siap di santap dan sarapan pun di mulai dengan tenang walaupun Jeongguk tidak ikut bergabung dan memilih menyantap sarapannya di konter dapur. Hanya setangkup roti yang nyaris basi dan segelas air. Sihye menghukumnya dan tidak memberinya jatah makan seharian dan Jeongguk menerimanya dengan hati lapang. Melahap rotinya seraya menahan rasa sesak di dadanya. Hh, ini hanya sebagian kecil dari nestapanya yang di rasakannya selama ia hidup sebagai anak dari Jeon Sihye. Ini tidak apa-apanya,bathinnya menangis. Taehyung sesekali meliriknya, hatinya terasa tak enak melihatnya. Ia mungkin tidak suka dengan Jeongguk, ia membenci si jangkung karena perjodohan mereka namun jika melihat ini hatinya seakan teriris menyakitkan. Ia iba melihatnya.
"Eh, kau menangis? Ada apa? Apa kau tidak suka makanannya? Si bodoh itu memang tidak pernah becus. Memasak masakan mudah seperti ini saja tidak bisa."Sihye kembali mencerca Jeongguk yang kini beranjak dari duduknya seraya menyampirkan tas punggung usangnya disalah satu pundak, berlalu setelah berpamitan dengan nada lirih dan terdengar sekali kalau nadanya bergetar. Taehyung mendengarnya. Tangisnya semakin pecah sekalipun tanpa suara, Sihye maupun Jimin mulai panik karenanya di tambah Taehyung yang memilih mengatup rapat bibirnya. Ia juga bingung dengan dirinya sendiri. Apa ini semua karena kehamilannya atau memang karena hanya bentuk rasa simpatiknya pada si jangkung makanya ia menjadi sangat sentimentil seperti itu? Entahlah...
.
.
Bersambung...