---
Seokjin beranjak keluar kamarnya, bergerak menuju sebuah kamar bercat abu-abu tepat disamping kamarnya dan membuka kenop pintu itu. Memasuki ruangan kosong nan hampa itu dan membaui aromanya dengan rakus, aroma khas seseorang yang selalu dirindunya. Berjalan mendekat kearah ranjang dan duduk ditepinya, maniknya berpendar, menjelajahi seluruh isi kamar bernuasa biru lembut itu. Raut wajahnya menyendu.
"Tidak terasa sudah 3 bulan kau pergi meninggalkan kami, Gukie. Apa kau bahagia sekarang ?"gumamnya sembari memandangi langit-langit kamar itu dengan pikiran mengawang jauh, seulas senyum terulas kala wajah imut itu terlintas dalam benaknya. Ah dia rindu senyuman lucu itu.
"Apa kau sekarang sudah bertemu dengan ibu ? Apa kalian merindukanku ? Merindukan ayah ?"maniknya memanas, punggung tangannya bergerak cepat menyeka luruhan airmata yang akan membuat matanya bengkak. Ia tak mau menangis lagi, ia hanya...
"Disini kau rupanya, pantas saat aku mengecek ke kamarmu kau--"
"Duduklah disampingku, ayah. Kita berbagi rasa rindu yang sama."ujarnya sembari menepuk sisi kosong disebelahnya pada Sehun yang tiba-tiba berdiri ambang pintu, pasti lelaki itu kembali terjaga sampai selarut ini hanya untuk menangani tumpukan berkas dimeja kerjanya. Lelaki itu tak menanggapi, memilih berjalan mendekat kearah Seokjin dan duduk disampingnya. Ikut mengedarkan pandangannya keseluruh sudut kamar, terngiang tawa renyah yang beberapa bulan lalu menjadi candunya namun kini telah tiada. Dia telah pergi kepangkuan Tuhan.
"Aku rindu Luhanku dan duplikat kecilnya yang luar biasa itu."kekehnya dengan setitik airmata dipipi kanannya, maniknya tertuju pada bingkai foto berukuran sedang yang ada dimeja belajar dikamar itu. Potret sang empu kamar yang tampak menggemaskan dengan wajah belepotan krim kue saat ia berulang tahun diawal tahun, tepatnya dua minggu sebelum dia pergi. Dengan tenang tanpa rasa sakit.
"Heum, aku juga. Tapi setidaknya sekarang keinginan terakhirnya terwujud."ujar Jin membuat kening penuh kerutan itu mengerut dalam, Seokjin tersenyum simpul.
"Ya, keinginan terakhirnya adalah bertemu ibu."
Hening, mereka sibuk dengan fikiran masing-masing.
"Ayah,"
Sehun mendongak, menatap Seokjin yang kini menatapnya lekat. Tersirat harapan mendalam dimaniknya yang kecoklatan, warna yang sama seperti mendiang istrinya."apa ?"
"Berjanjilah untuk berhenti menyalahkan diri ayah atas perginya Gukie dari hidup kita, yah. Dia sudah tenang sekarang, apalagi bersama ibu. Cukup dua orang yang pergi, tidak untuk ayah. Berhentilah menyiksa dirimu dan tenggelam dalam pekerjaan, kau masih punya aku yah. Kita akan baik-baik saja, dan aku yakin ibu dan Gukie punya harapan yang sama."Sehun tertegun, mendengar permohonan si sulung yang begitu membuatnya tertohok. Ia memang masih belum bisa menerima kepergian si bungsu dan berakhir terus tenggelam dalam pekerjaan seolah tak kenal lelah. Ia hanya tak bisa mengatasi rasa sakitnya akibat rasa kehilangan. Ia kehilangan orang tercintanya untuk kesekian kalinya, lantas apalagi yang bisa ia lakukan ? Menangis meraung ?
"Menangis sepertinya tak masalah, mungkin itu lebih baik daripada seperti ini. Aku juga sering kok menangis didepan guci abu ibu dan Gukie, mencurahkan isi hatiku dan setelahnya aku lega. Ayah tak mau mencobanya juga ?"apa harus dia mencobanya ?
"Baiklah."ujarnya pelan, masih ada ragu terbersit dalam benak dan relungnya namun tak urung membuat Seokjin tersenyum penuh kelegaan.
"Itu bagus, ayah. Ibu dan Gukie pasti senang."ujarnya dengan seulas senyum lebar, sekilas mirip dengan cengiran si bungsu.ya, mereka memang bersaudara. Sehun mengusap bahu lebar putranya pelan lalu menepuknya beberapa kali.