Hope

216 10 7
                                    

---
Part 2

Namjoon mempercepat langkahnya, mencari keberadaan Hoseok yang tiba-tiba tidak ada di ruang rawatnya. Ia khawatir sahabatnya itu mengalami sesuatu hal yang buruk. Dia mendesah lega, ternyata anak laki-laki itu hanya tengah duduk termenung di taman rumah sakit sembari memainkan sebuah Yoyo yang sempat di berikan Jeongguk beberapa hari lalu agar Hoseok tidak bosan katanya. Namjoon perlahan mendekat, duduk bersila disamping Hoseok yang tampak masih menyadari kehadirannya. Entah apa yang tengah dipikirkan teman sebayanya itu.

"Seok!"

"Ah, Oh---hey, Joon. Sejak kapan kau disini dan darimana kau tahu aku ada disini ?"tanyanya bingung, Namjoon tersenyum simpul.

"Hanya menebak dan ternyata tebakanku benar, kan ? Kau sedang memikirkan apasih ? Sini, bagi padaku. Siapa tahu aku bisa membantu."ujar Namjoon menawarkan diri untuk menjadi tampungan semua keluh kesah sahabatnya itu, Hoseok hanya tersenyum kecil. Kembali sibuk memainkan yoyonya.

"Seok..."

"Aku hanya...bosan berada disini. Sepi, sendirian terus."ujarnya dengan nada pelan, terdengar tidak yakin dengan apa yang dia ucapkan. Namjoon menatap wajah pias itu dan menghela nafas. Apa sebaiknya Hoseok di rawat dirumah saja ? Tapi...

"Lagipula, aku tidak yakin aku akan mendapatkan donor itu secepat mungkin. Akan lebih baik jika menunggunya dirumah, kan ? Aku merasa nyaman dan kalian tidak perlu repot bergantian menjagaku disini. Apalagi kau, bukankah kau sudah lulus tes loncat kelas ? Kau ikut program pertukaran pelajar ke Praha, kan ? Jangan pikirkan aku, Joon. Aku baik, kok---"

"Aku yang menginginkannya. Lagipula, mama Dara melarangku pergi kesana toh disini masih banyak Universitas yang bagus, tak perlulah jauh-jauh ke luar negeri. Aku mau lulus bersamamu saja, biar kau tak sendirian."

"Bagaimana aku bisa lulus tepat waktu, Joon. Kelas sepuluh saja aku tidak dapat merampungkannya karena dikeluarkan, lagipula, kau lupa ya ? Namaku masuk daftar hitam. Kasusku lebih berat daripada kasus manapun juga, Joon. Aku ini mantan narapidana anak-anak. Mereka tidak akan pernah sudi menerimaku menjadi murid mereka."ujarnya dengan senyuman hampa membuat Namjoon merasakan sesak didadanya.

"Tapi itu bukan kesalahanmu, Seok. Mereka salah paham, orangtuamu salah menduga dan aku--"

"Dan kau tidak pernah mempercayai semua usahaku untuk membela diri. Aku tahu, semuanya sudah berlalu dan mencoba untuk memaafkan segala hal yang pernah terjadi dimasa laluku, Joon. Tapi, rasa sakitnya masih berbekas disini, Joon. Bahkan mungkin masih akan terus basah. Aku sudah tidak punya nilai lagi dimata semua orang, Joon. Aku hanyalah seonggok manusia hina."

"Min Hoseok..."

"Aku...aku...selalu berpikir, apa sebaiknya aku lenyap saja dari dunia ini, toh aku sudah tak berharga lagi untuk siapapun. Aku hanya benalu, selalu saja membuat orang susah. Bukankah itu ide yang bagus ?"

Plak

"Jaga mulutmu, Min!"

Hoseok terkekeh pahit, memegangi sebelah pipinya yang terasa begitu panas. Menatap sayu kearah manik kecil yang menatapnya kecewa.

"Bukankah kau juga Min, Yoongi ?Oho, aku lupa,  aku kan tidak pernah pantas menjadi adikmu. Yang pantas menjadi adikmu dan si bungsu keluarga Min hanya Jimin, ya kan ? Oho, aku bodoh sekali~"

Hoseok tersedak tangisnya, tangannya meremat kedua pegangan pada kursi rodanya lalu menekan tuas yang bisa menjalankan kursi rodanya secara otomatis dan berlalu dari sana. Meninggalkan Namjoon yang tercenung dan Yoongi yang kini menendang udara dengan frustasi, mengumpat dengan begitu keras.

"Aku akan pergi menyusulnya, kak. Maafkan aku, kak Yoon."

Namjoon ikut melenggang pergi, berlari mengejar Hoseok yang begitu cepat menjalankan kursi rodanya. Yoongi mendesah lelah, lagi-lagi dia menyakiti adiknya.

BANGTAN COOKIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang