Regret

143 7 0
                                    

---
(2)

"Bunda sangat bersyukur karena bukan kamu yang menjadi pendonornya, Yeonjunie. Entah bagaimana nasib bunda nantinya jika hal itu sampai terjadi, mungkin bunda akan merutuki diri seumur hidup bunda."

Yeonjun hanya diam seraya mendengarkan dengan hikmat semua celotehan sang ibu sejak dua hari siuman dan kondisinya yang dari hari ke hari semakin membaik setelah operasi pencangkokan organ ginjalnya yang sukses besar bahkan lusa nanti wanita itu bisa langsung pulang ke rumah. Kabar yang bagus bukan?

"Sayang sekali ayahmu terus saja mengalihkan pembicaraan setiap bunda menanyainya perihal identitas sang pendonor. Padahalkan bunda hanya ingin mengucapkan rasa terimakasih bunda karena telah berbaik hati memberikan organ pentingnya untuk bunda secara cuma-cuma. Hh, bunda merasa begitu kasihan padanya."

Dan kali ini Yeonjun hanya mengulas senyum getir mendengarnya.

"Andai saja bunda tahu..."

"Eum, bunda tidak apa kan kalau disini sendirian?"tanyanya dengan hati-hati, sang ibu menoleh dengan dahi mengerut,"memangnya kenapa? Kamu mau pergi? Kemana?"

"Adalah. Aku ada urusan."jawabnya cepat membuat wanita itu mendengus pelan,"urusan dengan teman perempuanmu, ya? Ck, kau itu masih bayi Yeonjunie. Jangan banyak gaya seperti ayahmu."

Yeonjun nyaris bertindak tak sopan karena hendak memutar matanya malas di depan sang ibu. Remaja berumur 15 tahun menghela nafas pelan sebelum menyahutinya dengan nada malas,"bukan, bunda. Pokoknya ada saja. Bunda tidak perlu tahu."

"Ck, sudah berani main rahasia-rahasia rupanya. Hm, baiklah kalau begitu..."

"Bunda! Ayolah...dia begitu membutuhkanku sekarang."ujar Yeonjun lagi, setengah merengek."oh ya? Siapa memangnya? Sebegitu penting kah dia dibanding bunda?"

Yeonjun mendesah lelah,"bunda, aku mohon..."

"Kalau begitu, biarkan bunda mengetahuinya. Siapa sih orangnya? Sepenting itu kah? Apakah bunda mengenalnya?"desaknya membuat Yeonjun menghela nafas berat, manik besarnya menatap sang ibu sendu."bunda mengenalnya kok."dahi sang ibu kembali mengerut, lebih dalam.

"Oh ya? Siapa namanya?"

Yeonjun kembali tersenyum getir, merasakan nafasnya seolah tercekat di tenggorokan.

"Hm, dia adikku."jawabnya dengan nada setenang yang ia bisa, maniknya semakin menyayu kala mendapatkan manik cantik itu melebar untuk beberapa saat.

"A-apa..?"

"Bunda mau ikut menemaninya? Siapa tahu dia bisa segera terbangun dari tidur panjangnyanya."ujarnya lagi dengan nada basah membuat wanita itu tertegun,"apa maksudmu, Yeonjunie...?"

"Dialah pendonor malang itu, bunda. Adikku, Jeon Soobin."

.

.

Taehyung tidak tahu tentang rasa apa yang tengah berkecamuk di dalam dadanya setelah beberapa saat yang lalu dengan matanya sendiri melihat sosok malaikat penolongnya. Sosok yang memberikannya jalan untuk mendapatkan kesempatan untuk hidup lebih lama. Sosok yang sama yang sejak 8 tahun lalu memberinya nestapa karena kehilangan putri kecilnya yang lucu dengan begitu mengenaskan. Putrinya di renggut dengan paksa dalam rengkuhannya, meregang nyawa dalam dekapannya yang kala itu hanya bisa menangis dan melampiaskan segala rasa kecewa dan amarahnya pada sosok itu yang bahkan baru sadar komanya. Para medis mengatakan, sosok itu begitu hebat karena bisa melewati masa beratnya dengan cepat, hal yang sukar di dapat bagi penderita hemofilia yang di diagnosa terkena epidural hematoma tanpa terjadi komplikasi serius yang berkelanjutan. Tapi, itu tidak sama dengan nasib putrinya yang harus menyerah di usianya yang masih menginjak dua tahun. Itu tidak adil sekali bagi Taehyung.

Seharusnya, sosok itulah yang menggantikan posisi Sominya. Karena sejujurnya, Taehyung lebih rela jika itu sampai terjadi hingga membuatnya terus merutuki sosok itu hingga kini.

Atau mungkin tidak...?

Karena nyatanya, air matanya tak kunjung berhenti menitik walaupun dia nyaris gila karena frustasi. Ia sungguh tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Taehyung kebingungan. Di satu sisi, ia begitu membenci hingga rasanya begitu tak rela jika bagian dari sosok itu kini berada di tubuhnya dan di sisi lainnya ia merasa menyesal karena sikap dan perilakunya pada sosok itu selama ini hingga membuat remaja 14 tahun itu memilih menyerah melanjutkan hidupnya dan mengorbankan dirinya sendiri demi keselamatan wanita tak tahu diri seperti dirinya. Kenapa anak itu begitu bodoh?

"Dasar anak sialan!"rutuknya dengan nada bergetar, air matanya luruh semakin deras bahkan isakannya lolos begitu saja. Begitu pilu membuat siapa saja merasa tersayat hanya dengan mendengarnya. Seperti yang di rasakan oleh Jeongguk, sang suami yang kini memilih membawanya dalam rengkuhan hangat. Membiarkannya menumpahkan kegundahannya pada tubuh kokohnya. Mereka menangis bersama, berbagi sakit yang sama.

"Kenapa kebodohanmu menurun padanya, Jeongguk? Kenapa rasa simpatimu yang selalu berlebihan itu juga menurun padanya, Jeon? Kenapa? Kenapa hks..."

"Tae, ssst, sudah ya..."

"Kenapa dia begitu jahat padaku, Jeongguk? Kenapa dia terus menyiksaku dengan rasa sakit? Tidak cukupkah dia membuatku kehilangan Somi-ku?"

"Tidak, Tae. Bukan dia yang membuat Somi kita pergi. Itu semua sudah takdir Tuhan..."bisik Jeongguk membuat wanita itu menggeleng ribut, menolak mentah-mentah kenyataan itu."tidak, dialah pelakunya. Dialah penyebab utama kita kehilangan Somi. Dia pembunuh, Jeongguk! Dia pembawa sial!"

"Jeon Taehyung!"

"K-kau menamparku, Jeongguk...k-kau menyakitiku...kau membuat hatiku sakit..."racau Taehyung, pandangannya kosong membuat Jeongguk merutuki dirinya yang lepas kendali. Dengan susah payah mencoba merengkuh tubuh wanita itu yang terus berusaha menjauh darinya dengan wajah pias. Tubuhnya bergetar hebat. Pemandangan yang sama kala putri mereka pergi untuk selamanya.

Taehyungnya kembali terpuruk...

"Taehyung...sayang..."

"Tidak! Tetap disana dan jangan mendekat! Aku bilang jangan mendekat, Jeon. Atau aku akan melukai diriku sendiri!"wanita itu bahkan mengancamnya. Sebelah tangannya memegang pisau cutter yang entah berasal dari mana. Seingatnya, ia telah menyingkirkan semua benda tajam yang ada di rumah dan menyimpannya di tempat yang aman. Lagi-lagi Jeongguk merutuk.

Benar kata Taehyung, dia memang bodoh.

"Taehyung, jangan berbuat aneh. Sayang, aku minta maaf, okay? Buang benda itu, sayang. Ku mohon..."Pintanya dengan nada lembut namun lagi-lagi mendapatkan penolakan. Taehyung bahkan sampai menjerit histeris karenanya dan mengundang berbagai tatapan aneh dan rasa ingin tahu di sekitarnya yang memang cukup ramai, mengingat kini waktu membesuk. Jeongguk menghela nafas panjang sebelum melangkah maju, mendekat kearah Taehyung yang mulai kelimpungan. Dengan cepat, tubuh ramping itu kini berada dalam gendongannya seperti karung beras dan membiarkan lengannya terluka dengan luka yang melebar dan terus mengucurkan darah segar. Berjalan menuju parkiran di mana mobilnya terparkir dan menempatkannya di kursi penumpang. Setelah mengunci pintunya, dia bergegas menempati kursi kemudi lalu melesat pergi setelah sebelumnya mengikat kedua tangan wanita itu di belakang punggungnya. Taehyung terus memberontak namun sebelum wanita itu membuat rumah siput di dalam telinganya rusak, pria itu memilih menyumpal mulutnya dengan dasinya. Sedikit iba memang, namun Jeongguk tidak memiliki pilihan lain.

"Kita pulang ke rumah, ya..."lirihnya dengan tatapan manik kelamnya yang meneduhkan dan di balas delikan tajam diiringi suara gumaman tak jelas dari balik sumpalan dasi itu. Jeongguk meringis karenanya.

"Maafkan aku, Tae..."

.

.

BANGTAN COOKIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang