---
Jinyoung tidak tahu kalau menjadi anak kembar itu harus sama persis dalam segala hal,
Ia juga tidak tahu kapan mulanya kedua orangtuanya menuntutnya untuk berkembang seperti kembarannya,
Dan berakhir membentangkan jarak untuknya,
Membiarkannya tumbuh tanpa asa dan kesepian,
Ia sudah mencoba agar bisa seimbang bahkan hingga berdarah-darah namun rasanya semua percuma,
Hasilnya tetap sama,
Ia tak berharga dimata mereka,
Hanya penghias dan tak bernilai lagi jika telah usang.**
"Nih, orange cakenya Jinyoung. Tumben banget kamu pesan cake ini."heran gadis manis penyuka kembang pada sahabat kentalnya yang tak biasanya memesan cake yang rasanya sedikit asam itu, pemuda bernama Jinyoung itu hanya tersenyum tipis lalu menggeleng, mulai menikmati orange cake yang begitu aneh dilidahnya namun tak ia hentikan. Jinyoung mencicipinya lagi-lagi, mencoba menikmati.
Tak
"Kamu kenapa sih, Na ? Aku kan lagi makan."Jinyoung mendelik tak suka pada sahabatnya yang kini menghela nafas pelan.
"Kamu yang kenapa ? Ada masalah ya cerita dong!"cecarnya membuat Jinyoung bungkam lalu menjauhkan cake pesanannya, tak berminat lagi untuk menghabiskannya. Hana menghela nafas panjang.
"Jinyoung... ?"
"Aku gagal lagi, Na. Cuma masuk 15 besar. Mereka pasti marah lagi sama aku."ujarnya hampa, Hana menyendu menggenggam jemari panjang nan kurus sahabatnya lembut seakan memberi kekuatan tambahan pada Jinyoung.
"Kamu engga gagal, Jinyoung. Kamu hanya harus lebih optimal lagi belajarnya, nanti aku bantu ya."Jinyoung menatap Hana yang menatapnya dengan senyuman menenangkan, pemuda itu menggigit bibir dalamnya. Ditengah semua anggota keluarganya menekannya agar bisa seimbang dengan kembarannya, Hana selalu mendukungnya, mengangkatnya yang mulai terperosok ke lembah putus asa. Hanya gadis bermarga Jung yang tak pernah bosan mendampinginya terus rela menjadi sandarannya, Jinyoung bersyukur untuk itu.
"Makasih ya, Na..."ucapnya dengan setitik bulir yang mulai mengalir dipipinya, Hana masih mempertahankan senyumannya. Genggaman jemari lentiknya semakin menguat pada jemari sang sahabat membuat hati Jinyoung menghangat tiba-tiba.
"Anything for you, Jinyoung."
Keduanya saling melempar senyum, mereka saling menguatkan dan saling membuat janji dalam hati, akan saling mendampingi sampai akhir waktu nanti.
**
"Masih ingat punya rumah rupanya."
Jinyoung langsung menundukkan kepala kala sang ayah menatapnya datar bersama sang ibu yang bersidekap dada sembari menatapnya dingin.
"Darimana saja kamu ?"tanyanya lagi dengan nada menusuk membuat Jinyoung meremat kuat tali tas punggungnya, ia meneguk ludahnya kasar.
"Mampir ke kedainya bibi Haru, yah."ujarnya takut yang ditanggapi dengusan kompak kedua orang dewasa itu.
"Ck, yasudah masuk ke kamar. Mandi dan tidur. Lain kali jangan ulangi lagi, kami jengkel tahu, waktunya kami yang seharusnya dipakai untuk beristirahat malah terbuang karena menunggumu pulang."itu ibunya dengan nada tak senang begitu kentara, membuat rasa bersalah menumpuk didada Jinyoung.
"Maafin Jinyoung, bunda, ayah. Jinyoung janji tidak mengulanginya lagi."ucapnya penuh kesungguhan yang kini dibalas decihan pelan sang bunda, hatinya tercubit perih. Memandangi kedua punggung mereka yang kini beranjak menuju kamar dengan raut sendu. Lagi-lagi tanpa disengaja ia membuat kedua orangtuanya marah. Benar-benar bodoh.
"Hah..."
Menghela nafas panjang lalu berjalan gontai menuju kamar, ia lelah lahir bathin. Masuk kedalam kamar mandi, menyalakan keran dan memenuhi bathtube dengan air dingin dan busa sabun yang banyak lalu mencelubkan tubuhnya yang masih berpakaian lengkap, menangis tanpa suara dengan berbagai kata mengapa yang terus digumamkannya dalam gumpalan busa yang berlimpah.