---
"Jadi...?"
Taehyung tak langsung menjawab, sibuk mengatur emosinya yang bisa saja kembali menguap. Menarik nafas panjang beberapa kali sebelum akhirnya menatap manik kelam Jeongguk dalam. Pria itu pun ikut menatapnya dengan cara serupa,"ini tentang keputusan yang di ambil Yoongi oppa, Jeong. Kau tahu, aku sama sekali tidak menyetujuinya."
"Tae, kita sudah sepakat––"
"Aku tahu,"desisnya pelan, menarik nafas pelan dan menatap Jeongguk dengan raut sendu,"tapi apakah kau tidak kasihan dengan Yeonjun kita. Dia juga sama tersiksanya, bahkan aku yakin rasa sakit yang di tanggung anak sial––berhentilah memelototiku, Jeon!"mendesah kasar kala manik bulat itu terus menghunus tajam kearahnya, Jeongguk mendecih,"aku serius. Rasa sakitnya mungkin tidak sebanding dengan yang di rasakan Yeonjunie. Kau juga melihatnya sendiri, betapa tersiksanya Uri Yeonjunie kala rasa sakit itu mulai menyergapnya. Kau menyayangiku dan Uri Yeonjunie, kan?"
"Tae...,"
"Kau cukup mengatakan iya atau tidak, Jeon Jeongguk!"sentak Taehyung dengan nada tidak sabar, manik indahnya menatap nanar kearah Jeongguk yang tercenung di tempatnya,"bisakah kau mengubahnya..?"
Jeongguk diam. Taehyung menarik nafas panjang. Manik cantiknya mulai berkaca-kaca,"aku hanya meminta satu hal, Jeong. Aku hanya ingin kau membantuku untuk menyelamatkan anak kita. Apa itu hal yang sulit?"
"Tapi, Soobin juga putra kita, Tae."
"Bukan!"sanggahnya dengan nada keras, dengan kedua pipinya yang mulai basah,"dia bukan anakku. Dia bukan anak kita, Jeongguk. Aku dan kamu tidak pernah memiliki anak seorang pembunuh!"
"Cukup, Kim!"bentak Jeongguk. Ia sudah tidak tahan lagi. Mengabaikan sepenuhnya tatapan terluka yang Taehyung perlihatkan padanya. Ia sudah lelah dengan semua hal yang menekannya. Ia menyerah sepenuhnya.
"Aku sudah tidak perduli lagi. Terserah apa mau mu dan Yoongi hyung. Aku sudah terlalu lelah untuk memilih di antara kalian. Aku menyerah."katanya dengan nada kalah lalu berlalu begitu saja, menyisakan Taehyung yang kini terpekur di tempatnya dengan bulir air mata yang terus meluruh di kedua pipinya.
"Aku kecewa padamu, Jeongguk..."
.
.
Jimin benar-benar membuktikan ucapannya dan kini ia sudah berada di beranda rumah keluarga Jeon. Menunggu Bibi Ha membukakan pintu untuknya. Dan benar saja, wanita renta itu kini menyambutnya dengan seulas senyum hangat seperti biasa dan menggiringnya ke ruang tamu dan mengatakan kalau sang nyonya masih berada di kamar mandi sebelum akhirnya berlalu menuju kearah dapur untuk menyiapkan hidangan bagi Jimin yang kini duduk manis di atas sofa ruang tamu, menunggu Taehyung selesai membersihkan diri.
Beberapa saat kemudian, Taehyung datang menghampirinya namun tampak terlihat berbeda. Wajahnya tampak sedikit sembab membuatnya sedikit khawatir. Apakah sahabatnya itu baru saja menangis?
"Maaf ya, kau jadi menunggu lama."katanya dengan seulas senyuman yang menurut Jimin sangat di paksakan. Duduk di seberang Jimin yang kini terus memandanginya,"Jim, kenapa? Ada yang aneh, ya?"
"Ah, tidak kok. Eum, bagaimana kabarmu?"tanyanya dengan nada kikuk sebelum akhirnya merutuk dalam hati, kenapa harus menanyakan hal konyol begitu. Taehyung terkekeh kecil karenanya.
"Aku baik, kok. Oh, iya bagaimana keadaan Chaeyoung? Ku dengar dari Lisa, dia sakit tyfus ya? Maaf, aku belum bisa datang menjenguknya."ujar Taehyung tak enak hati, Jimin tersenyum kecil,"ah, tidak apa. Kami mengerti, kau pun sibuk mengurus Yeonjun di rumah sakit. Lagi pula, kondisi Chaeyoung sekarang sudah jauh lebih baik. Dia bahkan sudah bisa berkicau di dapur saat aku dan Beomgyu membuat kekacauan di sana. Padahal, niat kami itu baik, mau meringankan tugasnya di rumah."