---
(01)"Aku sudah mendengar semuanya, Jeongguk."
Jeongguk membeku beberapa saat sebelum akhirnya menghela nafas berat. Langkahnya entah kenapa terasa begitu berat sekarang.
"Bagus kalau begitu. Aku dan Seongwoo sudah memutuskan semuanya. Jadwal terapi pertamamu akan di laksanakan akhir minggu ini. Jadi, kau harus mempersiapkan diri untuk itu."katanya seraya memberi usapan lembut pada surai karamel Taehyung yang semakin memanjang. Wanita itu duduk membelakanginya. Menatap lurus keluar jendela.
"Kau seharusnya menanyakannya dulu padaku sebelum kau memutuskannya, bukan? Aku yang akan menjalaninya, Jeongguk. Kenapa kau begitu seenaknya?"Jeongguk tercenung, manik bulatnya menatap nanar kearah manik cantik yang kini menatapnya dengan sorot mata kecewa. Hatinya mencelos."aku tidak menyangka kau bisa sejahat ini pada kami, Jeongguk..."
"Tae...aku tidak..."
"Kau iya, Jeon."selanya dengan nada berbisik, matanya yang basah berkilat marah. Memeluk perutnya yang terlihat sedikit membuncit dengan protektif."jika kau mencintaiku, bukan seperti ini caranya. Aku kecewa padamu, Jeongguk. Sangat kecewa."setitik dua titik, air mata meluruh tak tertahan di kedua pipinya. Menambah rasa sakit pada hati Jeongguk. Ia tidak sanggup melihat kesayangannya bersedih seperti ini. Rasa sakitnya membuatnya nyaris mati.
"Tae, ku mohon mengertilah. Ini semua juga tidak mudah untukku. Aku sayang kalian berdua, tapi jika aku diberikan dua pilihan tentang siapa yang akan ku pilih, jawabannya akan tetap sama sejak dulu. Pilihanku hanya kau, Tae..."
Wanita itu menangis tersedu mendengarnya. Semakin mengeratkan dekapannya pada perut buncitnya yang terasa kram dan melilit tidak nyaman sehingga membuatnya meringis kesakitan. Jeongguk langsung panik melihatnya, kalang kabut dan berniat berlari keluar ruang rawat itu untuk meneriaki siapa saja agar bisa segera memberi pertolongan pada istrinya yang tengah menahan rasa sakitnya. Namun, cekalan lemah menahan pergerakannya. Manik cantik itu menatapnya sayu, seolah memintanya untuk tidak pergi kemanapun. Jeongguk menurut. Duduk disampingnya dengan bibirnya yang terkatup. Keduanya saling mendiami cukup lama sebelum akhirnya pergerakan Taehyung membuat Jeongguk tertegun. Senyuman lembut terlukis di wajah manisnya yang pucat membuat dada Jeongguk sesak luar biasa."dia layak untuk hidup, Jeongguk. Tolong, biarkan aku melihatnya walaupun hanya satu detik."
"Taehyung..."Jeongguk menangis, merengek seperti anak kecil. Melupakan fakta kalau dia adalah lelaki dewasa berumur 30 tahun lebih. Taehyung kembali tersenyum, jemari lentik nan kurusnya menyeka air mata yang membasahi kedua pipi Jeongguk dengan begitu lembut. Jeongguk menghentikannya, merematnya pelan lalu membawanya di depan bibirnya sebelum akhirnya ia kecupi seraya menangis tanpa suara. Taehyung ikut menangis melihatnya. Terisak pilu melihat betapa rapuhnya laki-laki di sampingnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Jeongguk jika ia tidak ada nanti. Bagaimana juga nasib kedua putranya? Ia tidak ingin seperti ini, namun suratan takdir berkata lain. Waktunya untuk hidup hanya sedikit membuatnya kalut. Ia juga tidak ingin pergi. Ingin selalu bersama Jeongguk dan kedua putranya sampai tua nanti. Tapi, Taehyung tidak berdaya. Dia hanya bisa berpasrah diri...
"Maafkan aku, Jeongguk..."
.
.
Taehyung bangun lebih pagi dari biasanya dan menghabiskan waktu di kamar mandi. Memuntahkan isi perutnya yang hanya bisa diisi dengan susu hamilnya, itu pun karena terpaksa untuk kebutuhan janinnya yang menurut dokter kandungannya masih begitu kecil di banding ukuran normalnya dengan bobot di bawah standar. Itu mengkhawatirkan dan mau tidak mau Taehyung harus memenuhi kekurangan itu sekalipun dengan bersusah payah dan menyiksanya.