---
Satu minggu ini Jeongguk sama sekali tidak memiliki jadwal untuk bertemu Taehyung. Seluruh waktunya nyaris di penuhi oleh kegiatan kantor yang luar biasa padat. Tim divisinya tengah sibuk menyiapkan peluncuran produk terbaru perusahaan yang masa tenggangnya jatuh penghujung bulan ini. Semuanya sibuk bahkan Jeongguk sering kali melewatkan jam makannya karena terlalu fokus dengan desain buatannya yang sudah nyaris jatuh tempo dan beberapa kali mendapatkan teguran dari atasannya karena keterlambatannya itu. Sedikit banyak membuatnya stress dan berakhir uring-uringan. Itu alasan utama Jeongguk tidak ingin bertemu Taehyung dulu, bahkan hanya sesekali memberikan kabarnya. Takut menjadikan kesayangannya sebagai pelampiasan emosinya yang sedang tidak stabil. Jeongguk tidak ingin hal itu sampai terjadi. Jadi, ia memutuskan untuk menjauh sejenak sampai keadaannya membaik.
Jeongguk sandarkan tubuh letihnya di sandaran kursi kerjanya. Menanggalkan kacamatanya sejenak dan memijat lembut pangkal hidungnya yang terasa kaku dan sedikit banyak membuat kepalanya pening. Menghela nafas berat berkali-kali. Ia merasakan tubuhnya tidak enak. Sepertinya itu tanda kalau dirinya akan jatuh sakit. Suhu tubuhnya bahkan sedikit menghangat dengan rasa pening yang semakin meningkat. Sepertinya ia harus merehatkan dirinya sejenak. Pergi ke kafetaria yang ada di kantornya dan menyantap hidangan apa saja yang penting bisa membuatnya mengkonsumsi obat penurun demam.
Ya, sebaiknya memang begitu.
"Jeong, gue bawain beberapa maket berisi konsep terbaru dari boss sesuai permintaan Pak Im kemarin lusa. Yak! Jeon, lo baik-baik aja? Jangan pingsan dulu, elah. Gue mana kuat angkut lo?"Bambam berseru panik kala mendapati Jeongguk yang nyaris ambruk jatuh ke lantai. Keadaannya sangat memprihatinkan dengan wajah memucat serta keringat dingin yang menghiasi pelipis dan dahinya. Tubuh mungilnya di jadikan sang kepala divisi desain sebagai tumpuannya membuatnya semakin kalang kabut. Meneriaki siapa saja yang bisa menolongnya dari kondisi sulit itu.
Mingyu yang kebetulan lewat langsung beringsut menghampiri. Terkesiap dan segera menolong Bambam dan mengambil alih tubuh bongsor Jeongguk yang nyaris menindih tubuh mungil pemuda berdarah Thailand itu."Hh, untung lo datang tepat waktu, Gyu. Gila si Jeongguk, gue nyaris semaput ketindihan badannya yang luar binasa beratnya."keluh Bambam, Mingyu menghela nafas pelan lalu meminta Bambam untuk membantunya memapah tubuh besar itu dan membaringkannya di sofa. Bambam menurut dan membantu Mingyu memapah Jeongguk ke sofa.
"Gue mau keluar sebentar, beli makanan sama beli obat demam. Lo tungguin dia atau telepon kakaknya biar jemput. Sebaiknya, dia istirahat di rumah. Soal surat ijin biar gue yang urus. Gampang itumah, di kasih kedip juga si Jihyo langsung luluh."kata Mingyu sebelum berlalu menyisakan Bambam yang misuh-misuh di tempatnya. Mencerca Mingyu dalam hatinya karena dengan seenaknya berniat menggoda Jihyo di depan matanya sendiri yang notabene adalah pacar gadis berdarah Chinese itu.
"Badjingan emang si Kiming. Berani-beraninya dia masih menel ke cewek gue, kampret! Biji ketumbar di kasih nyawa ya gitu tuh. Ck."
Bambam terus misuh-misuh di samping Jeongguk yang masih terbaring lemah tak sadarkan diri. Ia sangat kesal dengan mantan gebetan kekasihnya itu. Selalu saja mencari celah agar dapat kembali mendekati Jihyo yang kenyataannya lebih memilihnya ketimbang pemuda Kim itu. Hh, terjebak di dalam ruang lingkup cinta segitiga ini memang rumit. Tidak jauh beda lah dengan si Jeon yang kini pingsan itu. Hh, tiba-tiba Bambam jadi kasihan.
.
.
"Lo istirahat. Soal surat ijin udah di urus sama Mingyu sebelum gue sampai di kantor lo."
Jeongguk hanya mengangguk lemah. Terlalu lemas hanya untuk sekadar menanggapi. Bahkan dia sempat tidak sampai menghaturkan ucapan terimakasihnya pada kedua temannya itu. Mungkin besok, jika kondisinya sudah dirasa membaik, Jeongguk akan menelepon keduanya dan mengucapkan rasa terimakasihnya lewat sambungan telepon.