112 - Melanjutkan Perjalanan

102 22 8
                                    

Karena banyak bab yang kubuat, maka maklumi aja kalau beberapa judul bab pada sama, aku agak males bikin judul soalnya 😅

***


Pergerakan monster yang bentuknya sama persis seperti elang itu sangat cepat, mungkin kecepatannya di atas 200 km/jam sehingga Yoohyeon yang biasanya memiliki insting dan dapat merasakan serangan kejutan sekalipun tak bisa menyadari akan munculnya monster burung itu. Yeosang yang memiliki insting hewan juga tak berbeda jauh dengan apa yang dirasakan oleh Yoohyeon.

“Ahhh!  Batunya!” JiU dan Gahyeon segera saja histeris tatkala melihat batu kristal itu direnggut tepat di hadapan mereka.

“Cih, kau benar-benar ceroboh.” Yoohyeon berucap kesal, sebenaranya ia ingin memarahi Gahyeon, tapi batu itu jauh lebih penting daripada banyak bicara tak jelas, maka dari itu ia langsung berlari mengejar burung yang mencuri batu kristal tersebut.

“Aku akan mengambil batu itu.” Yeosang juga tidak tinggal diam, ia segera berubah menjadi seekor burung elang, seekor Peregrine Falcon yang memang memiliki tubuh ramping tapi memiliki kecepatan luar biasa. Yeosang segera terbang mengejar sosok burung dengan dua pasang sayap itu. Ia tahu jika batu itu sangat penting karena ketiga gadis itu memerlukannya untuk memulihkan energi mereka yang tinggal sedikit.

“Aku minta maaf, aku tidak sengaja!” Gahyeon langsung menangis saat itu juga.

Yeosang dan Yoohyeon sekuatnya mengejar burung yang terbang terlalu tinggi tersebut. Yoohyeon berlari di antara reruntuhan bangunan kota, sambil terus berlari, Yoohyeon meraih batu atau bongkahan reruntuhan kemudian melemparkannya ke arah makhluk itu. Entah memiliki mata di belakang kepala atau insting yang kuat, burung dengan dua pasang sayap itu mengelak.

Yoohyeon tak menyerah, beberapa kali ia melepaskan lemparan reruntuhan, sayangnya apa yang dilakukannya tak membuahkan hasil dikarenakan monster itu berulang kali menghindar.

“Makhluk itu sangat cepat, padahal ini sudah merupakan kecepatan maksimalku.” Yoohyeon merasa heran karena tidak bisa mengejar sosok burung itu, padahal ini adalah kecepatan maksimalnya sebagai manusia hasil percobaan. Tampak bukannya ia memperpendek jarak, justru malah sebaliknya, jarak antar mereka semakin jauh saja.

Hingga ketika jaraknya sudah berada di luar jangkauan Yoohyeon, ia langsung berhenti berlari, ia merasa tidak ada gunanya berlanjut untuk mengejar sosok burung itu.

“Sial.” Ia memandang kepergian sosok binatang itu yang dikejar oleh Yeosang. Hanya sosok perepgrine falcon saja yang mampu mengejar kecepatan makhluk itu.

Dengan terpaksa, Yoohyeon kembali ke tempat di mana JiU dan Gahyeon menunggu, meski dengan berjalan kaki biasa, ia tak terlalu menghabiskan banyak waktu dikarenakan ternyata kedua gadis itu tidak menunggu, melainkan mereka berjalan kaki menyusul.

Saat ketiganya bertemu, Gahyeon masih memperlihatkan ekspresi sedih dan bersalah, ia sendiri tahu seberapa besar nilai batu itu bagi mereka yang saat ini sangat memerlukan energi tambahan untuk menyambung hidup mereka.

“Bagaimana?” tanya JiU. Yoohyeon hanya menggeleng, isyarat itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaksan jika ia gagal mendapatkan batu itu.

“Aku minta maaf. Itu kecelakaan.”

“Kita lanjutkan perjalanan selagi pria itu mencari batunya.” Yoohyeon tampak memutuskan untuk tidak menghakimi Gahyeon atas kejadian ini, sebagai gantinya ia membahas topik baru.

“Kau, buka petanya dan tujukan ke arah mana kita harus pergi.” Yoohyeon memerintahkan pada Gahyeon, sementara Gahyeon masih terisak, ia tak langsung mematuhi perintah itu.

“Jangan menangis! Cepat lakukan!” Yoohyeon berkata dengan dingin, ia mendesak Gahyeon. Melihat ekspresi itu, Gahyeon sontak memeluk JiU karena takut.

“Iya, iya, aku lakukan, kakak jangan berekspresi seperti itu, aku takut.” Gahyeon menyeka aor matanya lalu mengeluarkan laptopnya. Sekadar informasi tambahan, laptop itu sebanarnya terdiri dari keseluruhan layar sehingga keyboardnya berbentuk digital sehingga sistemnya adalah layar sentuh.

Layar menunjukkan arah yang akan mereka tuju, tidak lupa juga ada informasi akan kemungkinan turunnya hujan dalam beberapa saat lagi. Informasi yang diberikan oleh benda itu juga mengatakan jika daerah yang akan mereka lalui bukan jalur yang baik, suatu waktu bisa muncul bahaya.

Gahyeon langsung memberitahukan semua informasi yang dirinya dapatkan kemudian mengantongi laptop itu ke dalam tas khususnya. Yoohyeon mengamati keadaan sekitar lalu memandang ke arah yang dikatakan oleh Gahyeon.

“Jadi begitu, ayo pergi.” Yoohyeon tak banyak bicara, ia langsung melangkah pergi seperti tidak peduli apakah kedua gadis itu mengikutinya atau tidak.

“Karena tidak ada matahari, agak sulit menetukan arah. Tapi semoga saja teknologi yang dimiliki bocah itu memiliki keakuratan yang bagus, akan membahayakan jika kita tersesat.” Yoohyeon berucap dalam benaknya.

Dengan hilangnya sumber energi yang merupakan bahan mentah bagi pasokan energi tubuh mereka, terpaksa JiU menunda membuat cairan energi, hal ini secara tak langsung membuat Yoohyeon harus membatasi penggunaan katana, meski tak menggunakan kemampuan khusus dari senjata itu, ketika kulitnya bersentuhan dengan benda itu energinya tetap akan terserap meski dalam jumlah yang sangat sedikit.

“Ayolah, kamu jangan sedih, aku jadi ikut sedih juga. Semua ini bukan salah kamu, tidak ada yang tahu jika akan ada burung yang menyambar batu itu.” JiU tampak berusaha menghibur Gahyeon yang murung, meski ia sudah berhenti menangis, tapi ekspresinya malah terus murung. “Andaikan aku tahu, mungkin aku juga sudah mengendalikan pikiran burung itu lalu membuatnya mengembalikan batu itu.” JiU memegang tangan Gahyeon, gadis itu sama sekali tidak menanggapi setiap kalimat yang dilontarkan oleh JiU. Mendadak JiU terpikir oleh binatang berbentuk burung itu.

“Tapi kenapa bisa ya ada burung secepat itu, aku sampai hanya melihat bayangannya saja. Apa kamu bisa membuat bayi-bayi kamu secepat itu?” Ketika membahas drone, JiU segera sadar jika sekarang sudah tidak ada lagi drone kecil yang terbang di sekitar mereka.

“Ke mana perginya bayi-bayi kamu? Apa mereka sudah dimakan?” tanya JiU sambil melirik ke sekitar mencari keberadaan drone-drone kecil yang beberapa waktu lalu melayang mengelilingi mereka, bahkan sebelumnya JiU beberapa kali menangkap benda bulat kecil itu. Kali ini, pasang matanya tak menemukan satu pun benda bulat berwarna putih itu.

Gahyeon menggeleng menanggapi pertanyaan itu, ia masih murung dengan kepala yang agak menunduk. “Aku menyimpannya, mereka kehabisan daya.” Ia menjawab dengan nada yang pelan.

“Mereka mati? Kita harus menguburnya.”

“Mereka tidak rusak, hanya kehabisan energi saja.” Gahyeon menyangkal sambil mengangkat wajah memandang ke arah JiU yang ternyata memasang ekspresi manis yang polos. “Lagi pula aku larang kakak mengubur bayi-bayiku lagi. Seharusnya yang kemarin juga masih bisa diperbaiki atau setidaknya ada komponen yang masih bisa diselamatkan, tapi kakak malah menguburnya.” Gahyeon berucap dengan nada yang kesal, ia mengingatkan JiU mengenai kejadian kemarin di dalam hutan di mana JiU memang mengubur drone yang rusak. Gadis itu tersenyum sambil garuk-garuk kepala.

“Maaf, aku pikir semua yang sudah mati harus dikubur.”

“Ilmu dari mana itu?”

“Kedokteran, mayat akan membusuk dan mengeluarkan bau, tanah bisa menyaring bau itu jika mayat dikubur pada kedalaman tertentu, tanah memiliki ph yang ....”

“Berhenti! Sudah  cukup.” JiU sebenarnya sudah semangat untuk menjelaskan panjang lebar, tapi Gahyeon yang pusing dan tidak mengerti dengan pembahasannya langsung menyela. “Kakak, bayiku adalah mesin, tidak akan membusuk, jadi tidak perlu dikubur.”

“Oh, tidak ya. Kupikir itu akan membusuk juga.”

“Mana ada? Logam tidak membusuk seperti daging.”

“Oh, ternyata seperti itu.”

Maka sepanjang perjalanan keduanya mengobrolkan hal yang tidak penting, topik yang dibahas adalah hal ringan dan mampu keduanya simak dengan baik, tak ada pembahasan anatomi makhluk hidup yang bisa memusingkan Gahyeon dan tidak ada pembahasan teknologi yang bisa memusingkan JiU. Sementara Yoohyeon berhenti peduli dengan percakapan mereka, ia lebih fokus melihat jalan untuk memastikan mereka tidak salah jalur, ia juga memastikan agar mereka aman tanpa adanya monster yang bisa muncul kapan saja lalu memberikan serangan kejutan.

“Bangunan di sini sudah runtuh semua, ini bisa dikatakan satu wilayah sudah benar-benar telah diratakan.” Yoohyeon bergumam dalam benaknya saat menyaksikan keadaan sekitar. Memang benar apa yang ia pikirkan, di daerah sini benar-benar tidak ada bangunan yang berdiri.

“Jika hujan turun, kita tidak memiliki tempat untuk berlindung, sepertinya kita harus bergerak lebih cepat, setidaknya sampai tiba di daerah yang memiliki banyak bangunannya,” pikirnya.

Yoohyeon segera menoleh ke arah dua gadis yang berjalan di belakangnya, sontak obrolan mereka terhenti, keduanya langsung bungkam seolah mereka tak sengaja membahas sesuatu yang menyinggung gadis di hadapan mereka.

Yoohyeon tak memedulikan reaksi mereka, ia berhenti berjalan lalu berbalik badan.

“Kita akan mempercepat langkah, kalian jangan sampai tertinggal karena aku tidak mau menunggu.”

“Eh, kenapa? Kenapa kita harus tergesa-gesa?” tanya JiU, sayangnya Yoohyeon tak menjawab, gadis itu sudah kembali berbalik lalu melanjutkan langkahnya.

“Sederhananya, jika ada bahaya di daerah sini, kita tidak punya tempat untuk berlindung atau bersembunyi, ayo kita bergegas.” Gahyeonlah yang mewakili untuk menjawab pertanyaan itu. JiU mengangguk-angguk paham karena jawaban dari Gahyeon terdengar cukup masuk akal.

***

Wah padahal ini adalah part mereka, harusnya ada BtS yang gesrek, tapi selama beberapa lama kupikirkan, ide gak muncul juga. Kayaknya kesehatan badanku berpengaruh dengan humor dan kebinalanku. 🤧

Nightmare - Escape the ERA (DreamCatcher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang