Guys, adakah yang baca karyaku di novelme? Kalau ada, kusarankan jangan. 😅(penulis macam apa ini? Karyanya dibaca malah gak mau.
Alasan aku ngga nyaranin karena itu harganya mahal, sementara hasil penjualan dibagi hasil dengan aplikasi dan dipotong pajak, pemasukan kecil banget. Kalau mau baca karyaku, mending chat WA aja, nanti kukirim. Kan kalau ada yang mau donasi, gak ada bagi-bagi hasil dan kena pajak. 🤑🤧
Btw No More ini benar-benar ala anime, tapi agak horor gitu. Serius, suka banget. Berharap ada dancenya, kayak yang lain.😍
***
Setelah memikirkan tiga situasi ini, mereka agak bingung untuk mengambil keputusan, namun sekelebat pemikiran terlintas dalam kepala Siyeon.
“Dan dari mana kau tahu itu? Kau berasal dari sana atau sudah pernah ke sana?” tanyanya pada Mingi, ini adalah kalimat pertamanya yang ia lontarkan dalam percakapan bersama si pria. Siyeon melontarkan pertanyaan ini bukannya apa, namun ia hanya ingin kejelasan, siapa tahu jika pria ini hanya membual dan perkataannya tak dapat dipercaya.
“Soal itu, mudah saja, aku bertanya pada angin dan mereka memberitahuku. Sebenarnya aku datang dari arah kedatangan kalian.” Mingi memberitahukan dengan santai. Tentu saja jawaban itu terdengar menggelikan bagi mereka.
“Oh, itu terdengar keren. Kau tak bercanda?” tanya Siyeon, ia sepenuhnya tak memercayai dengan apa yang dikatakan oleh pria itu. Memang benar apa yang diperlihatkan oleh pria itu benar, ia bisa mengendalikan awan, menggerakkan kapas-kapas yang melayang di atas sana, namun mendengar angin berbicara jelas sudah berada di luar batasan. Angin adalah zat yang tak hidup, apalagi bisa bicara.
“Kalian tak tertawa, jadi itu bukan candaan. Aku tahu dari angin.” Pria itu menegaskan jika apa yang dikatakannya sama sekali bukan candaan.
“Sepertinya dia memang serius.” SuA menoleh ke arah Siyeon.
“Kau percaya?” Kedua gadis itu kemudian saling bertatapan. Mereka berbicara dengan nada yang pelan dan untuk sesaat mereka melupakan keberadaan Mingi di sana. SuA mengangguk menanggapi pertanyaan yang Siyeon lomtarkan padanya.
“Apa? Bagaimana mungkin? Jelas itu bualan.” SuA segera menepuk pundak Siyeon.
“Begini, mungkin saja angin yang dimaksud tak berbicara secara harfiah.” SuA segera menjelaskan, saat itulah Siyeon mulai paham dengan apa yang SuA maksud.
“Maksudmu itu adalah kiasan?” tanyanya yang ingin memastikan.
SuA mengangguk. “Bisa saja indranya menangkap lebih dari seharusnya, angin yang berembus dari kota sana terbang ke sini dan menyebarkan aroma robot yang ada di sana.”
“Aroma robot?” tanya Siyeon dengan heran.
“Yah, bukan parfum. Tapi komponen dan bagian yang menggerakkannya, bahkan cairan fluida pada kabel memiliki aroma, apalagi sisa dari pembakaran bahan bakar yang digunakan untuk menggerakkan semua robot itu.”
“Oh oke, aku paham garis besarnya.” Siyeon kini tahu apa maksudnya, apa yang SuA pikirkan dan ia segera paham maksud dari apa yang dikatakan oleh Mingi. Maka gadis itu kemudian menoleh ke arah Mingi.
“Jadi apa anginmu bisa memberitahu arah yang aman? Kami memerlukan daerah yang aman untuk dilalui.” Ia mengajukan pertanyaan itu. Jujur saja ia ingin melewati jalur yang seaman mungkin, ia ingin jika mereka harus bertarung apabila berada dalam keadaan yang memaksa mereka untuk bertarung, ia dan SuA harus menghemat energi yang ada pada tubuh mereka sampai energi untuk isi ulangnya sudah mereka dapatkan lagi.
“Sebenarnya tidak ada arah yang aman, seluruh daerah sana dipenuhi robot.” Jawaban dari Mingi jelas tak memuaskan bagi mereka, justru itu membuat mereka agak kecewa. Tak ada jalan yang aman berarti harus membuat mereka bertarung, mau tak mau harus mau.
“Oh, itu berita buruk. Tapi apa pun yang terjadi, kami harus pergi.” SuA membalas ucapan dari pria itu sementara Siyeon merenungkannya.
“Kalau begitu berhati-hatilah.” Mingi sama sekali tak tampak ingin menahan mereka, mungkin saja ia berpikir jika apa yang dua gadis lakukan itu sama sekali bukan urusannya.
“Hum,” balasnya. Maka SuA menarik tangan Siyeon, mereka mulai berjalan meninggalkan pria itu, percakapan antara mereka sudah selesai.
“Terima kasih infonya.” SuA lanjut bicara pada pria itu.
“Aku hanya ingin tahu satu hal.” Mingi menoleh memandang kedua gadis yang menggendong tas besar tersebut.
“Apa itu?” tanya SuA, ia berbalik menoleh ke arah Mingi. Keduanya segera menghentikan langkah mereka, bahkan Siyeon ikut menoleh memandang ke arah pria itu.
“Apa kalian adalah black list?” tanyanya dengan nada biasa, tidak mencurigai, tidak menuduh, hanya seperti mengajukan pertanyaan biasa dan sepele. Namun jelas bagi Siyeon ini adalah sesuatu yang penting. Tangan kanannya refleks meraih belati yang tersampir di sabuk pinggangnya. Ia tahu sendiri jika pria ini adalah musuh yang harus dirinya kalahkan.
SuA tak memandang ke arah Siyeon, namun sepertinya ia mengetahui dan merasakan niat pada diri Siyeon. Maka SuA maju satu langkah lalu menyunggingkan senyuman.
“Jika iya, apa yang akan kau lakukan? Jika bukan apa yang akan kau lakukan?” SuA langsung membalas, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi. Siyeon segera mengurungkan niatnya lalu memandang punggung yang dihalangi oleh tas besar itu.
Mingi yang tak menyangka jika dirinya akan mendapatkan jawaban yang seperti ini, ia tak langsung membalas, namun dirinya tampak sedang berpikir dan menimbang-nimbang. SuA tampaknya sabar menunggu jawaban darinya.
“Jika iya, mungkin ketika kita bertemu lagi, kita harus bertarung. Jika bukan, emmm ... mungkin kita bisa mengobrol banyak dan aku bisa memberitahu beberapa hal tentang informasi beberapa kota dan segala isinya.” Mingi segera memberikan jawaban yang sontak saja membuat kedua gadis itu tertarik.
“Beberapa kota?” tanya Siyeon.
“Ya, aku baru saja mencuri beberapa informasi, mungkin saja ini akan berguna.” Mingi menjawab.
“Memangnya ada berapa banyak total kota?” tanya SuA padanya.
“Aku bahkan belum mendapatkan jawaban.” Mingi tampak tak mau terkecoh atau tak mau mudah memberikan apa yang menjadi pemasaran bagi kedua gadis itu. Mendengar balasan dari Mingi yang terkesan seperti desakan agar mereka menjawab, SuA sadar jika informasi yang dimiliki oleh pria itu mungkin saja tak akan pernah mereka dapatkan. Ia menghela napas, rasanya tak akan ada gunanya juga jika dirinya berbohong pada pria ini.
“Oh, soal itu, kita adalah black list, dan mungkin aku harus bersiap-siap untuk menghadapimu di masa depan.” SuA masih tersenyum saat melontarkan balasan.
Siyeon seketika agak terbelalak saat mendengar pengakuan dari temannya ini yang terlalu berterus terang pada pria itu, padahal ia pikir SuA mungkin akan sedikit berbohong atau mengatakan banyak bualan.
Mingi juga tak menampakkan reaksi terkejut seolah dirinya sudah menduga jika gadis cantik itu akan memberikan jawaban seperti itu.
“Ah, sayang sekali.” Mingi tampak agak kecewa mendengar jawaban itu. SuA merasa jika ini saatnya untuk mengakhiri pertemuan dan percakapan mereka. Apalagi sudah jelas jika mereka telah saling membuka identitas masing-masing dan suatu saat nanti mereka mungkin akan saling berhadapan dengan saling beradu senjataーandaikan jika pria itu memiliki senjata.
“Kalau begitu selamat tinggal.” Mereka kemudian berpisah di sana. Entah Siyeon maupun SuA, keduanya sama sekali tak menoleh dan tak memasang penjagaan pada belakang mereka. Entahlah apa keduanya benar-benar yakin dan percaya diri jika pria yang ada di belakang mereka tak akan menyerang saat itu juga.
***
Behind the Story.
“Soal itu, mudah saja, aku bertanya pada angin dan mereka memberitahuku. Sebenarnya aku datang dari arah kedatangan kalian.” Mingi memberitahukan dengan santai. Tentu saja jawaban itu terdengar menggelikan bagi mereka.
“Kau bisa mendengar apa yang dikatakan oleh angin?” tanya SuA yang antusias. Ia tersenyum pada Mingi yang masih duduk.
“Tentu saja. Aku bisa tahu apa yang dikatakan angin.”
“Semua jenis angin?” tanya SuA lagi yang ingin memastikan.
“Dia mau ngpain nanya-nanya kayak gitu ya?” tanya Siyeon yang agak penasaran.
“Ya, semua jenis angin.”
“Kalau gitu dengerin ini.” SuA berbalik lalu menungging pada Mingi, kemudian dia kentut sebenarnya di hadapan wajah pria itu.
“E buset, dia ngentutin muka orang.”
SuA berbalik dan melihat Mingi bergeming.
“Nah, apa yang dikatakan sama anginnya?” tanyanya.
Tapi bukannya menjawab, Mingi tepar dan kejang-kejang seketika.
“Yah, dia kejang-kejang.”
“Lagian kamu jorok, masa kentut di depan muka orang. Sekarat kan jadinya.” Siyeon membalas.
“Aku Cuma pengen tahu aja apa yang diomongin smaa kentut.”
“Gak gitu juga kali, itu mah jorok.”
“Ehehehehe, tapi aku tetap cantik ya kan?”
“Iya, tapi jorok.”***
Masih mau part Suayeon? Aku belum ngetik lagi nih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare - Escape the ERA (DreamCatcher)
Science FictionIni cerita fanfiction ya, buat yang gak suka, mungkin boleh lihat-lihat dulu, siapa tahu jadi penasaran lalu bisa tertarik dan berakhir suka. Cerita mengandung humor, mohon maklumi kalau ada hal-hal yang konyol dan candaan tak sesuai kondisi, sengaj...