16 – Dua gadis
Pagi itu, matahari tak menampakkan diri, suhu udara terasa dingin, Dami berlari sangat kencang sambil memegang tongkat mengilap pada tangan kanannya, dia melompati bangunan-bangunan yang sudah hancur, reruntuhan dan puing-puing, sosok yang dia kejar seperti seekor anjing dengan telinga runcing ke atas, ekornya kecil seperti ekor tikus, tapi sangat panjang. Pada mulut si monster, terdapat sebuah kotak hitam yang menjadi incaran Dami.
Dia terus mengejar dengan kecepatan sekitar 60 km/h. Kecepatan larinya tentu tak normal bagi manusia, tapi dia memiliki kemampuan itu. Meski berlari secepat itu, dia tetap tak mampu mengejar makhluk yang memiliki kecepatan yang sama dengannya, jarak dia dengan si anjing berada sekitar lima belas meter.
“Binatang sialan.” Dami terus berlari, dia mengayunkan tongkat, memukul bebatuan atau puing untuk dilontarkan pada binatang itu.
Si binatang sangat lincah untuk menghindari setiap serangan sehingga Dami harus terus menerus mengejarnya hingga beberapa lama. Tiba di bagian reruntuhan gedung yang memiliki bagian-bagian yang masih utuh berdiri dan sebagiannya sudah hancur. Intinya, tempat itu menyisakan beberapa ruangan yang dapat dimasuki oleh seseorang.
Dami berhenti berlari saat dia memandang keadaan sekitar di mana tak ada apa-apa di sekitar sini.
“Ke mana perginya makhluk itu?” Dia memandang ke sekeliling, tapi tak mendapati ada makhluk hidup yang bergerak di sana. Irisnya terus memandangi keadaan sekitar, tapi tak ada tanda-tanda keberadaan si monster. Maka dia berjalan menyusuri lorong demi lorong dan ruangan demi ruangan.
Hingga ia mendapati sosok pergerakan sesuatu, Dami segera melemparkan tongkatnya ke arah pergerakan itu, yang sekali serangannya tak mengenai sesuatu yang ditujunya.
“Cih, aku meleset.” Dami berdecak kesal dan meraih tongkatnya, sayang sekali benda itu tersangkut terlalu dalam, tampaknya dia melakukan lemparan yang terlalu kuat. Memerlukan beberapa waktu dan usaha yang cukup berat untuk menarik tongkatnya keluar, tapi pada akhirnya dia mendapatnya lagi.
Maka Dami segera berlari mengejar sosok yang beberapa waktu dilihatnya, dia berlari sekencang-kencangnya sehingga tubuhnya seperti terbang karena kecepatannya, ini lebih cepat beberapa kali lipat dari kecepatan manusia normalnya. Hingga dia melihat sebuah lorong yang terpisah karena bagian bangunan itu terbelah, jaraknya sekitar lima meter, dia berlari sangat kencang tanpa ada niat untuk menurunkan kecepatan, sepertinya dia ingin melompati jurang itu. Dan saat jaraknya sudah lebih dekat lagi, ia menyeberang dengan satu lompatan yang jauh.
Kakinya mendarat di lantai dan dia berada dalam posisi berlutut, arah tatapannya tertuju pada binatang yang sudah terkapar bersimbah darah, makhluk itu sudah tewas. Sosok pelaku yang merupakan pembunuhnya ada di sana, wanita itu mengambil sesuatu dari mulut si binatang.
“Barang yang bagus.” Gadis itu bergumam, Dami berdiri dan memutar tongkatnya.
“Oey, itu milikku. Kembalikan!” Tatapan Dami agak keras saat melihat ada manusia lain yang tinggal di sini, tampaknya dia tak sendirian bersama para monster mengerikan ini. Tapi siapa wanita itu? Dia tampak kasar dan beringas, memiliki wajah pemberontak dan keras. Rambutnya tak terlalu panjang, hanya sebatas bahu saja. Dia mengenakan sarung tangan dengan aliran cahaya seperti denyutan urat, sepatu yang berwarna hitam itu juga mengeluarkan sinar yang sama.
Handong menyeringai dan memandang remeh pada Dami.
“Apa kau sedang berbicara padaku? Kenapa suaramu mirip kentut?” tanyanya dengan mengejek.
“Selagi aku masih baik, jangan uji kesabaranku. Jaga bicaramu dan jadilah gadis baik, kembalikan barangku!”
“Dan apa yang akan kau lakukan jika aku tidak mau?”
“Kau wanita yang nakal. Sepertinya harus ada yang membuatmu menjadi anak baik.” Dami tersenyum miring dan memutar tombaknya. Ini masih pagi dan dia sudah harus bertarung, menyebalkan sekali rasanya
Kapal selam sudah meledak dengan kehancuran yang tidak kecil, Yoohyeon agak mengernyit karena Gahyeon mampu menciptakan sesuatu seberbahaya itu dari barang rongsokan, beberapa gedung dan bangunan lapuk yang juga sudah rusak ikut rata dan tak tersisa karena terkena ledakan itu.
Ia sudah berada di daerah yang aman dan jauh dari sumber ledakan, meski di sini asap sisa ledakan itu masih ada dan dapat terlihat.
Gahyeon tertidur di pangkuan Yoohyeon saat gadis itu berjalan di atap bangunan, malam itu Yoohyeon hanya melarikan diri dan mencari tempat yang tinggi, dua tangannya memegangi Gahyeon dengan erat. Tak bisa bertarung dalam keadaan seperti itu membuatnya hanya bisa melarikan diri. Gahyeon tampak sangat nyaman tidur di dalam pangkuan Yoohyeon, tangannya mendekap benda kesayangannya itu dan wajah tersenyumnya memang tampak membuatnya imut.
Gahyeon menggerakkan kepalanya di dada Yoohyeon, tepat pada daerah buah dadanya, itu membuat Yoohyeon mengernyit dan merinding jijik. Ada godaan dan niat besar untuk melempar tubuh itu dari atas sana ke bawah, tapi dia menggeleng dan mengurungkan niat, rasa jijik dan marahnya dia tahan baik-baik ketika dia ingat jika sudah bagian dari keputusannya untuk membiarkan gadis ini bersamanya. Tapi dia tetap merasa luar biasa tak nyaman dengan interaksi dan kontak fisik seperti ini, terlebih lagi Gahyeon sesekali menyentuh bagian sensitifnya.
“Kau sangat beruntung karena aku tak mencincangmu.” Maka dengan hati-hati, Yoohyeon menurunkan tubuh itu di atas beton yang dingin, tak ada tempat nyaman untuk tidur di atas sana, tapi Gahyeon sama sekali tak terbangun.
Yoohyeon duduk di tepi atap dan mengayunkan sebelah kaki di sana, menumpu lutut sebagai penahan tangan sehingga dagunya bisa disangga dengan baik. Katananya ada di pelukannya. Sebenarnya Yoohyeon ingin membuang baju putih luarnya, ia masih mengenakan dalaman hitam yang hanya memperlihatkan bagian perut saja. Ia merasa jijik dengan apa yang dilakukan Gahyeon sebelumnya, tapi karena tak kotor, tak ada bekas ingus atau apa pun, dia mengurungkan niatnya.
Terjaga semalaman tak membuatnya mengantuk, pikirannya malah terus terfokus pada bayangan yang didapatnya ketika berada di dalam kapal selam, tak ada apa-apa yang memberi bukti jika dia pernah berada di dalam kapal selam itu, hal itu berarti ini bukan kapal selam yang sama di mana pada masa lalu dia menempatinya, hanya beberapa ruangan dan bagian saja yang agak mirip.
Gahyeon bangun saat matahari sudah menerpanya, dia menguap dan berpegangan tubuh saat posisinya sudah duduk.
“Oh, di mana ini?” Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, sepertinya dia berada di sebuah atap bangunan dan banyak hal yang terjadi jika harus membayangkan dan memutar ingatan. Fokusnya tertuju pada Yoohyeon.
“Selamat pagi, kakak.” Gahyeon beranjak dan menenteng laptop itu kemudian duduk di samping Yoohyeon. Dia sama sekali tak menyahut perkataan Gahyeon yang sudah jelas-jelas dia berbaik hati menyapa.
“Kukira kau takut ketinggian.” Yoohyeon menggumam tanpa menoleh ke arah Gahyeon. Mendengar perkataan itu, Gahyeon melihat ke arah bawah dan segera memeluk Yoohyeon.
“Aaah, tinggi sekali.” Tapi kali ini Yoohyeon tak membiarkan gadis itu memeluknya, maka dengan tangan kiri ia mendorong wajah Gahyeon ke belakang hingga gadis itu terlempar sejauh dua langkah.
“Aw, kasar sekali.” Gahyeon mengusap-usap pantatnya.
“Aku sudah bilang jangan menyentuhku.”
“Sensitif, mentang-mentang memiliki badan bagus.” Gahyeon menggerutu pelan, Yoohyeon beranjak dan menghadap ke arahnya.
“Kita lanjutkan perjalanan, tunjukkan jalan!”
Maka Gahyeon menurut, dia membuka laptop itu, melihat peta dan akhirnya berdiri.
“Ikuti aku.”
“Katakan saja jalannya.” Yoohyeon tak mau berada di belakang dan menarik Gahyeon agar berada di belakangnya.
Maka mereka menuruni bangunan itu melalui tangga darurat. Sepanjang jalan, tak ada percakapan apa-apa di antara mereka. Hanya suara langkah kaki masing-masing yang terdengar, sangat sepi dan hening.
“Kakak, kau tak mau cerita padaku?” tanya Gahyeon tiba-tiba.
“Tentang apa?” Yoohyeon balas bertanya, ia sama sekali tak menoleh. Nadanya tetap datar meski tau jika Gahyeon sudah curiga terhadapnya, bahwa dirinya mendapat suatu ingatan aneh dari kepalanya saat melihat keadaan kapal selam.
“Kau mengingat sesuatu, bukan?” Dan benar saja, penglihatan dan pengamatan Gahyeon tak buruk, dia tahu jika Yoohyeon mengalami sesuatu. Meski sudah diketahui seperti itu, Yoohyeon tetap tak ingin mengatakan apa-apa padanya.
“Tidak penting.” Ia menggeleng dan tak mau membahas hal itu.
“Menyebalkan.”
Tiba-tiba satu bayangan yang singkat terbesit dalam kepalanya, itu adalah di mana dia dan pria itu berlari mencari jalan keluar dari lorong-lorong yang memusingkan, semua itu pudar begitu saja. Yoohyeon menggelengkan kepala.
“Ada apa? Apa ada yang sakit?” tanya Gahyeon dengan khawatir saat melihat ekspresi Yoohyeon kesakitan.
“Tidak, aku baik-baik saja. Jangan menyentuhku.” Maka ia langsung melanjutkan jalan kaki.
“Dia jelas kenapa-kenapa, ada sesuatu yang disembunyikannya. Tertutup sekali, aku bahkan tak akan berniat jahat, hanya mau membantu saja. Dasar.” Gahyeon hanya mampu menggerutu dalam benaknya saja.
Selama hampir satu jam, mereka menyusuri jalanan dan bangunan yang sudah runtuh, Gahyeon sebenarnya ingin melompat-lompat lagi, tapi Yoohyeon memarahinya sehingga dia berjalan normal dengan cemberut.
Dari kejauhan, mereka mendengar ada suara keributan.
“Kakak, sepertinya ada yang berkelahi.” Yoohyeon hanya mengangguk.
“Kita lihat, aku harap mereka sesama manusia juga.”
“Untuk apa? Tak penting sama sekali.”
“Ayolah, selain itu, jalan kita memang ke arah sana. Agak dekat dengan sumber suara.” Yoohyeon tak mengonfirmasi, tapi dia berjalan menuju ke arah yang ditunjuk. Gahyeon segera mengekor.
Di daerah reruntuhan, dua sosok gadis sedang saling berhadapan, mereka adalah Handong dan Dami yang memiliki konflik sebelumnya, tampaknya hal ini belum diselesaikan, bahkan lebih rumit dan susah lagi dikarenakan mereka memilih untuk bertarung dan saling melukai untuk menyelesaikan konflik ini.
“Kau mencuri barangku, kembalikan!” Dami memandang Handong dengan dingin.
“Siapa cepat, dia yang dapat.”
“Tidak berlaku jika itu barang milik orang lain.”
“Atas dasar apa kau mengklaimnya? Aku tak melihat ada nama seseorang di atasnya, barang ini bukan milik siapa pun.”
“Kau!” Dami tak tahu harus membalas seperti apa, maka dia mengancam. “Ini adalah peringatan terakhir, berikan barang itu sebelum aku mengambilnya dengan paksa.”
“Kenapa tak coba memaksaku? Aku ingin tahu seberapa besar usaha yang mampu kau lakukan.”
“Kau yang menginginkannya, jangan menyesal jika anggota badanmu tak utuh lagi.”
“Itu juga berlaku padamu, jangan menyesal jika kau menghabiskan sisa hidup dengan anggota tubuh yang cacat. Salahkan diri sendiri karena berani menghadapiku.”
Maka mereka segera saling tukar serangan
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare - Escape the ERA (DreamCatcher)
Science FictionIni cerita fanfiction ya, buat yang gak suka, mungkin boleh lihat-lihat dulu, siapa tahu jadi penasaran lalu bisa tertarik dan berakhir suka. Cerita mengandung humor, mohon maklumi kalau ada hal-hal yang konyol dan candaan tak sesuai kondisi, sengaj...