196 – Siapa Namamu?
Part SuA and Handong.
SuA dan Handong pergi kembali menuju tempat di mana terakhir kali SuA meninggalkan tasnya. Pagi ini meski salju berjatuhan, kedua gadis cantik itu tetap berjalan menyusuri salju. Air banjir yang menggenang sudah menjadi lantai es sepanjang jalan.
Perjalanan tidak menghabiskan waktu yang lama karena mereka berlari dan melompat bangunan satu dengan bangunan lain. Selain itu, Handong tidak membawa SuA terlalu jauh pergi.
SuA sudah berhasil kembali ke tempat semula di mana ia berpisah dengan Siyeon, bayangan itu kembali teringat membuatnya murung dan dilanda kesedihan lagi. SuA buru-buru menguasai dirinya, ia tidak akan memperlihatkan kelemahan dan kepedihan di hadapan Handong.
“Semua tertutup salju, akan sedikit sulit mencari tasku.” SuA memandang keadaan sekitar, tempat terakhir ia dan Siyeon bertemu tampak sulit dikenali, hanya lubang besar yang Handong buat saja yang menjadi penanda jika sebelumnya mereka pernah ada di sana.
“Huh, aku jadi punya waktu untuk banyak untuk mengulur agar tidak bertarung dengannya lagi.” SuA bergumam lalu menoleh ke arah Handong yang sedang melemparkan beberapa puing seenaknya.
“Hei! Jangan melempar itu seenaknya! Itu bukan kerikil yang ... ahhh!” SuA tak lanjut bicara saat Handong melemparkan bongkahan dinding besar ke arahnya. SuA langsung berlari menghindar, bongkahan itu jatuh menimpa tempat SuA sebelumnya berdiri. SuA ternganga tak percaya, ia kemudian memandang Handong yang masih memunggungi dirinya sambil melemparkan reruntuhan ke sembarang arah.
“Kau sengaja melakukannya bukan? Kau ingin melukaiku?” tanya SuA dengan agak geram. Tapi Handong mengabaikannya, ia berhenti melemparkan reruntuhan saat sudah menemukan sesuatu yang dicarinya.
“Apa benda ini yang kau cari?” tanya Handong yang mengeluarkan tas besar dari dalam reruntuhan, ia menjulurkannya ke arah SuA. Dan tentu saja itu adalah tas yang sebenarnya milik Siyeon, itu benda yang SuA cari, Handong dengan mudah dan cepat menemukannya.
“Cepatnya, bagaimana bisa dia menemukan tasku secepat ini?” tanya SuA yang senang sekaligus kecewa. Ia senang karena bisa mendapatkan barang-barangnya lebih cepat dari yang dirinya duga, lalu ia kecewa karena dirinya tidak bisa mengulur waktu dan mengalihkan Handong dari pertarungan yang dijanjikan setelah menemukan tasnya.
Handong tidak menanggapi, ia melemparkan tas itu ke arah SuA setelah mendapatkan konfirmasi dari perkataan SuA sebelumnya.
“Baiklah, saatnya kembali bertarung.” Handong menepuk-nepuk kedua tangannya untuk menyingkirkan kotoran yang menempel pada sarung tangan yang dikenakannya, setelah itu ia melompat turun dari atas reruntuhan itu.
“Bukankah ini buang-buang waktu?” SuA bicara tanpa memandangnya, ia membuka isi tas itu untuk memeriksa barang-barang di dalamnya. Ia mengeluarkan satu-persatu senjata yang terdapat di dalam sana.
“Apa?” tanya Handong yang bertolak pinggang di hadapannya. SuA mendongak memandangnya sesaat.
“Kau terobsesi bertarung, apa itu tidak buang-buang waktu? Apa tidak ada hal yang ingin kau capai atau cari tahu?” tanya SuA yang sesaat kemudian melanjutkan mengeluarkan semua isi tasnya.
“Aku dan Siyeon ingin mengetahui mengapa kita bisa berada di sini, aku mendapat gambaran mengenai pulau langit dan kami menjadikan itu sebagai tujuan. Kami harap di sana ada jawaban yang kami mau.” Ia lanjut berbicara saat Handong tidak menanggapi, saat ia melihat jika bola biru itu tampak baik-baik saja, ia menutup tasnya lalu memandang senjata-senjata yang tersisa.
“Apa pentingnya semua itu? Aku tidak peduli dengan apa yang sebelumnya terjadi padaku. Aku hanya ingin menjadi yang terkuat.” Handong menjawab dengan seringai yang tampak jahat. Sementara SuA memandang jika hanya tersisa enam jenis senjata api, untungnya persediaan peluru masih tersisa banyak.
“Untuk apa? Apa itu untuk kesenangan saja? Kau pikir kita hidup di dalam permainan? Ini adalah sesuatu yang serius, kita bisa mati kapan saja.” SuA melontarkan beberapa pertanyaan sekaligus, ia memeriksa jenis peluru yang ada. Peluru disesuaikan dengan jenis senjata yang ada, ia membuang banyak peluru yang tidak memiliki senjata untuk menembakkannya.
“Aku tahu, cepat atau lambat kita akan mati, cairan berwarna biru itu tidak banyak, itulah jumlah dan batas sisa hidupku. Memangnya apa lagi yang bisa kita lakukan? Aku hanya ingin memenuhi hasratku sebelum aku mati.” Handong membalas lagi, kali ini tangannya ia silangkan di dada. Ia mengabaikan aktivitas yang SuA lakukan. Mendengar kalimat itu, SuA menggeleng pelan, ia berhenti dari aktivitasnya lalu mendongak memandang Handong.
“Pikiranmu terlalu pendek, carilah sesuatu yang menjadi tujuanmu, aku tidak ingin mati sebelum semua ini terkuak.” Setelah mengatakan itu, SuA merapikan senjata-senjata itu, ia mengantongi peluru pada saku celananya lalu menyisakan satu senjata api yang akan dirinya gunakan, itu berjenis shotgun.
“Aku sangat yakin dengan satu hal. Pastilah ada bajingan yang membuat kita mengalami semua ini.” Setelah selesai dengan itu, ia mengenakan tas itu sehingga senjata peluncurnya tertutupi oleh tas besar. SuA tak melanjutkan percakapannya dengan Handong, ia langsung berlari meninggalkan gadis itu begitu saja.
“Apa kau bilang? Hei, kembali dan katakan itu lagi!” Handong berteriak, ia kemudian berlari mengejar SuA yang mulai melompat ke atas sebuah bangunan. Melompati bangunan adalah cara lebih cepat dan lebih baik daripada berlari di daratan, selain jalanan yang tidak rata, mereka yang berlari di bawah sana tidak bisa melihat bahaya atau ancaman dari segala jenis musuh yang bersembunyi.
“Hei! Bagaimana dengan pertarungannya?” Handong berteriak pada SuA saat ia juga sudah berlari di atas sebuah bangunan. SuA berhenti lalu berbalik menghadapi Handong.
“Siapa namamu?” tanya SuA, ia tidak menanggapi perkataan Handong sebelumnya. Handong yang berhenti tak jauh di hadapan SuA tampak heran karena gadis di depannya tiba-tiba saja menanyakan nama.
“Hah? Untuk apa aku harus memberi tahu namaku padamu?” tanyanya dengan ketus. Nada bicara dan ekspresinya seolah menganggap SuA terlalu istimewa baginya jika sampai perlu mengenalkan namanya.
“Nama itu penting, setidaknya kau punya sesuatu yang menjadi bagian darimu dan jati dirimu.”
“Apalah arti sebuah nama.” Handong berkata dengan ketidakpedulian yang jelas.
“Oh, jadi kau tidak peduli soal nama ya? Kalau begitu aku akan memanggilmu ‘Tolol’ saja.” SuA langsung seenaknya menamai Handong, tentu saja Handong tidak terima dengan panggilan ejekan itu.
“Apa kau bilang?!” sergahnya dengan sorot mata yang tajam. SuA hanya tersenyum acuh tak acuh menanggapinya.
“Kau mengatakan kalimat sebelumnya, aku asumsikan jika kau tidak peduli dengan nama, apa pedulimu jika aku memanggilmu ‘Tolol' ya kan?”
“Kau mengataiku, dasar babi diabetes!” Handong berteriak, dengan mudahnya ia melontarkan hinaan membuat SuA agak kesal.
“Babi apa?” SuA tak habis pikir dengan bahasa Handong, jelas itu terlalu kasar untuknya. “Apakah kau tidak sedikit pun memikirkan apa-apa yang kau ucapkan? Hah, sudahlah, tidak penting bicara denganmu.” SuA hendak berbalik kemudian pergi dari sana.
“Handong.” Handong tiba-tiba menyebut namanya, ia memberitahukan namanya pada SuA, tentu Saja SuA langsung mengurungkan niatnya, ia bahkan menoleh ke arah Handong.
“Apa?” tanya SuA.
“Namaku, Handong, apa kau tuli?!” Handong malah langsung membentak menegaskan namanya.
“Astaga, tidak perlu berteriak juga.” SuA bergumam pelan sambil menggosok telinganya sebagai isyarat jika pendengarannya terganggu dengan bentakan itu.
“Kau bisa memanggilku SuA.” SuA langsung mengenalkan namanya pada Handong, tapi balasan dan reaksi yang diterimanya malah berbeda. Handong tertawa mencibir, itu membuat SuA heran dengannya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare - Escape the ERA (DreamCatcher)
Science FictionIni cerita fanfiction ya, buat yang gak suka, mungkin boleh lihat-lihat dulu, siapa tahu jadi penasaran lalu bisa tertarik dan berakhir suka. Cerita mengandung humor, mohon maklumi kalau ada hal-hal yang konyol dan candaan tak sesuai kondisi, sengaj...