Part 65

3.1K 129 2
                                        

Alfandy Pov

Setiap hari aku selalu mencuri pandang ke cafe milik Almeera. Syukur-syukur kalau beruntung bisa melihat dia dan anak-anak dari jauh.

Tapi aku sudah kurang lebih sebulanan ini bolak-balik ke cafe dan Almeera tetap tak pernah kelihatan. Mungkin saat aku ke sana dia sudah pulang atau belum datang jadi kami tak pernah bertemu.

"Pak Alfandy" Seseorang mengagetkanku.

"Eh i iya" Gugupku.

Ini karyawan cafe Almeera, dia juga yang dipesankan oleh Almeera jangan menerimaku untuk ke cafe lagi. Aku takut kalau dia akan mengusirku dan melaporkan kepada Almeera. Aku takut juga kalau nantinya Almeera akan tambah membenciku.

"Pak Alfandy ngapain disini? Nungguin Bu Almeera ya?" Sepertinya dia tau maksudku.

"Iya, maaf saya lancang. Saya permisi dulu ya" Aku hendak ke mobil.

"Tunggu pak, saya mau kasih tau kalau Bu Almeera udah gak pegang cafe yang ini. Bu Almeera sekarang megang cafe yang di Bandung. Beliau dan Bu Ria buka cabang di Bandung jadi Bu Almeera milih menghandle cafe sana dan cafe ini dihandle Bu Ria" Jelasnya.

Aku kaget mendengar informasi ini, kenapa aku tidak tau kalau Almeera dan anak-anak pindah. Bahkan aku juga tak sempat mengecek ke sekolah anak-anak untuk memastikan.

"Kapan mereka pindahnya?" Tanya ku.

"Sudah sebulan yang lalu pak, Bu Almeera juga buka cabang floristnya di sana jadi memang kayaknya netap di sana mereka" Jawabnya.

"Almeera punya usaha lain ya selain cafe bersama temannya ini?" Tanya ku penasaran.

"Lah bapak gak tau ya, Bu Almeera punya usaha florist lumayan gede. Makanya udah buka cabang di Bandung" Jawabnya lagi.

Seketika aku merasa bangga dengan pencapaian Almeera. Sepeninggalan diriku dulu dia tidak terpuruk, dia justru bangkit dan maju.

"Oke baik terima kasih informasinya ya. Saya berhutang sama kamu" Ucapku.

"Sama-sama pak, oh iya saya mungkin gak tau kenapa ibu dan bapak pisah dulunya. Tapi saya berharap bapak dan ibu bisa bersama lagi. Saya sering kasian liat Arhan atau Arfan gak tau yang mana saya gak bisa bedain. Dia sering mojok terus nangis manggil bapak. Sering juga nanya ke kita karyawan, kenapa mama papanya gak tinggal bareng. Saya kasian pak, dia juga pernah cerita dulu di sekolah diejek temannya dibilang gak punya bapak. Dia bilang temannya ngejekin dia itu ditetaskan bukan dilahirkan karena tidak punya ayah" Jelasnya padaku.

Miris aku mendengar apa yang baru saja dia beritahu padaku. Aku selama ini melihat Arhan senang saja saat bertemu denganku. Ternyata Arhan menyimpan kesedihannya sendiri. Aku yakin yang dia katakan itu Arhan karena tidak mungkin Arfan.

"Saya pamit dulu, terima kasih semua informasinya. Doakan saya bisa membawa mereka kembali ke saya" Aku tak sadar meminta doa padanya.

"Sama-sama pak, saya selalu mendoakan yang terbaik untuk Bu Almeera, bapak dan anak-anak kalian" Ucapnya.

Kemudian dia pamit kembali ke dalam cafe dan aku juga bergegas pulang ke rumah dan meminta cuti lagi. Aku tau ini tidak benar dan pastinya aku akan kena sidang etik. Tapi demi Almeera dan anak-anak aku harus melakukannya.

Almeera Pov

Suasana kota Bandung memang sangat memikat. Aku baru sebulan ini tinggal di sini sudah merasa betah dan rasanya gak mau pindah-pindah lagi. Anak-anak juga betah di sekolah barunya.

Aku pindah ke sini selain memang buat handle cabang baru cafe dan florist, aku juga menghindar dari Erin dan mamanya. Aku tidak mau sampai apa yang dikatakan Sisi menjadi kenyataan. Aku harus selalu melindungi anak-anak ku.

"Mama tadi sekolah seru banget" Arhan seperti biasa selalu antusias menceritakan apa yang dia lakukan di sekolah.

"Alhamdulillah kalau seru. Gimana, abang betah gak?" Tanyaku.

Aku harus memikirkan perasaan anak-anak juga. Mereka baru beradaptasi di kota ini. Untuk anak-anak mungkin mudah bergaul tapi aku harus memikirkan perasaan mereka juga.

"Betah ma, teman-temannya pada baik. Abang tadi dikasih jajanan mereka juga" Jawabnya.

"Lah jajan abang kan ada nak" Ucapku.

"Abang juga kasih jajan abang ma ke dia, jadi tadi tukeran jajanan gitu" Jawabnya sambil mengeluarkan kota bekalnya.

"Oh gitu" Jawabku.

Arfan dari tadi hanya diam saja dan berekspresi datar. Dia memang selalu begini, dia hanya akan berekspresi kalau aku sudah berbicara padanya.

"Ganti baju gih, terus sholat baru makan siang. Mama siapin makan siangnya ya" Aku beranjak dari ruang tamu.

Rumah yang ku kontrak ini tidak besar, bahkan lebih kecil dari rumah yang sebelumnya. Aku memang sengaja ambil rumah yang kecil saja karena toh cuma kami bertiga ini.

Untuk rumah lama masih ada si mba yang menunggui. Aku memang tidak menjual rumah itu dan sekaligus biar si mba bisa terus kerja. Dia aku suruh pulang kampung saja tidak mau, katanya sudah tak punya keluarga di sana jadi aku lebih baik di sini.

"Abang kangen" Aku melirik tangan kecil yang melingkari perutku.

Entah karena tangannya yang mulai panjang atau badanku yang terlalu kecil. Tangannya pas melingkar di perutku.

"Ini Abang Arfan apa Abang Arhan?" Tanyaku.

Aku tak bisa melihat wajahnya karena aku sedang menyalin sayur ke mangkok. Kalau liat wajah aku pasti bisa bedain tapi kalau suara susah.

"Abang Arfan mama" Dia melepaskan pelukan dan berdiri di sampingku.

"Owalah maaf mama kalau gak liat muka kalian gak bisa bedain" Cengirku.

"Ih mama mah, sini dulu nunduk" Aku menunduk dan menatapnya.

"Cup" Sebuah kecupan di pipiku.

Aku bersemu karena merasa tersanjung sudah diciumnya. Arfan biasanya tidak mau ku cium-cium katanya udah besar. Tapi kali ini dia yang menciumiku duluan.

"Abang! Ngapain cium-cium mama!" Arhan berlari menghampiri kami.

Aku kembali berdiri normal dan bersiap menyaksikan kehebohan keduanya.

"Lah ini mama abang juga ya bebas dong" Jawab Arfan.

"Tapi kan kalau mau cium harus barengan, gak boleh gitu sendirian" Arhan pura-pura merajuk.

"Terserah abang lah kok Bang Arhan ngatur" Arfan tambah menjahili adiknya.

"Ih abang! Mama liat tuh" Adunya padaku.

Arfan mengejek dengan menjulurkan lidahnya ke Arhan.

"Udah jangan saling ejek, ke meja makan gih mama mau naruh ini juga terus kita makan" Suruhku.

Mereka nurut dan berjalan bersama. Mereka tadi padahal baru saja marahan eh sekarang udah damai. Itulah yang aku suka, mereka cepat berdamai.

"Assalamualaikum" Terdengar salam dari luar.

"Waalaikumussalam" Jawab kami bersama.

Aku bangun untuk melihat siapa yang bertamu siang bolong begini.

"Halo cantik" Sapa orang ini.

"Eh iya, masuk" Aku mempersilakan dia masuk.

"Anak-anak mana?" Tanya nya.

"Yang gak ada ditanya, yang di depan mata gak ditanya" Aku pura-pura merajuk.

"Haha yang depan mata kan aku bisa liat jadi gak perlu ditanya" Dia menggodaku.

"Anak-anak di meja makan, ayok makan bareng" Ajakku.

Kami berdua menuju meja makan bersama.

Anakku Bukan AnakmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang