Part 46

3.3K 127 4
                                        

Almeera Pov

Anak-anak sudah sehat seperti sedia kala dan hubunganku dengan Mas Alfandy mulai membaik. Tapi tetap aku menganggapnya hanya sebatas teman dan ayah dari anak-anak.

Setiap harinya Mas Alfandy selalu berkunjung ke rumah atau ke cafe untuk bertemu anak-anak atau mengajak mereka bermain.

Oh iya untuk masalah rumah dan mobil yang sempat dia bicarakan, aku tidak menerimanya sama sekali. Bagiku itu bukan hak ku dan kalau pun anak-anak yang minta itu belum pantas mereka dapatkan. Mereka masih terlalu kecil untuk menerima hadiah sebesar itu. Walaupun yang memberikan adalah ayah kandungnya.

"Mama Abang Arfan nakal" Adu Arhan padaku.

Anak-anak sudah bisa mengucapkan huruf r dan juga alhamdulilah mereka sekarang sudah sekolah taman kanak-kanak.

"Abang jangan jahilin adeknya" Ucapku ke Arfan.

Arfan nyengir-nyengir saja sambil memeletkan lidahnya menggoda Arhan.

"Mama!" Teriak Arhan.

Arhan mengejar Arfan sambil membawa sepatu sekolahnya berusaha memukul Arfan.

"Udah dong masih pagi ini, ayok sarapan kita berangkat sekolah" Aku mengejar mereka berdua.

Namanya tenaga anak-anak baru lincahnya berlari jadi agak kewalahan aku mengejarnya.

"Mama awas!" Teriak Arhan.

"Bugh!" Sebuah pukulan sepatu mengenai perutku.

"Aduh, astaghfirullah sakit" Rintihku.

"Mama gak papa" Arfan dan Arhan mendekatiku.

Aku langsung terduduk di lantai karena sangking kuatnya pukulan Arhan tadi.

"Mama abang minta maaf mama" Arhan mulai cemas dengan kondisiku.

"Abang bantu pindah ke kursi ya ma" Arfan mencoba membopongku dibantu Arhan.

Aku mencoba berdiri tapi perutku terlalu sakit dan berasa seperti ditimpuk batu dengan kuat.

"Abang minta tolong bibi ya ma" Arhan berlari ke dapur.

"Assalamualaikum. Eh Al kenapa?" Rupanya Mas Alfandy berkunjung.

"Tadi perut mama gak sengaja kena pukul sepatu sama Abang Arhan pa" Jawab Arfan.

"Kok bisa?" Tanya nya sambil membantuku berdiri.

Aku sama sekali tidak kuat berdiri dan langsung meringkuk lagi menahan sakit.

"Kita ke rumah sakit" Mas Alfandy mengangkat tubuhku.

"Mas turunin mas kita bukan muhrim, gak boleh begini mas" Aku berusaha berontak.

"Aku minta tolong kamu nurut kali ini aja" Ucapnya.

Aku diam saja dan mengikuti dia yang membawaku ke mobilnya.

"Abang panggil Arhan ya kita ke rumah sakit. Bawa tas dan juga sepatunya nanti dari rumah sakit papa antar sekolah" Arfan mengangguk dan masuk memanggil saudara kembarnya.

"Buruan pa kasian mama sakit" Cemas anak-anak.

Mas Alfandy sengaja menurunkan kursi penumpang setengah tiduran agar aku nyaman. Kemudian dia mengendarai mobil menuju rumah sakit terdekat.

Sampai di depan UGD kembali Mas Alfandy menggendongku, padahal perawat memberikan kursi roda tapi dia tetap menggendongku.

"Tolong istri saya dok perutnya gak sengaja kepukul anak-anak tadi, ini katanya sangat sakit gak bisa dilurusin badannya" Cemas Mas Alfandy.

"Baik pak kita periksa dulu ya, oh iya sebelumnya saya mau tau dulu. Istri bapak sedang tidak mengandung kan?" Tanya dokter itu.

Aku kaget mendengar pertanyaannya dari dokter, bisa-bisanya mikir aku hamil.

"Oh gak dok, istri saya gak hamil" Jawab Mas Alfandy cepat.

"Baik bapak dan anak-anak boleh tunggu diluar dulu kami periksa ibunya" Mas Alfandy mengajak anak-anak menunggu diluar dan dokter memeriksaku.

Perutku dikompres air hangat oleh perawat dan tidak ada yang mengkhawatirkan. Tadi perutku tiba-tiba keram karena kaget akan pukulan.

"Mama gak papa?" Mas Alfandy dan anak-anak menghampiri ku yang sudah selesai diperiksa.

"Mama gak papa" Jawabku.

"Makasih ya mas udah mau direpotkan" Ucapku ke Mas Alfandy yang sedang menggendong Arhan.

"Sama-sama Al, kamu kalau ada apa-apa hubungi aku cepat ya. Aku gak mau kamu dan anak-anak kenapa-kenapa" Ucapnya.

"Iya mas aku gak papa, aku gak mau nyusahin kamu. Kamu itu suami orang dan hak milik orang lain" Jawabku.

Dia diam dan tak menjawab lagi. Arhan masih diam dan bersembunyi dipelukannya.

"Mama gak marah kok, udah ya. Sekarang siap-siap kita sekolah ya" Pujukku.

Arhan menoleh dan matanya sudah berkaca-kaca tapi tidak menangis.

"Abang juga minta maaf ya gara-gara abang jahilin Abang Arhan jadi marah dan mama yang kena pukul" Ucap Arfan.

"Udah yuk saling maaf aja ya. Kita berangkat sekarang nanti kalian terlambat" Aku mencoba turun dari ranjang.

Perutku sudah agak baikan dan tidak terlalu sakit seperti tadi.

"Aku bantu" Mas Alfandy sigap menggandeng lenganku.

"Maaf mas bukan muhrim" Ucapku sambil menggeser tangannya.

"Mama kenapa gak mau dipegang papa? Kata guru ngaji abang kalau papa mama itu boleh pegangan, yang gak boleh kalau bukan papa mama" Ucap Arfan.

"Iya sayang itu papa mama yang tinggal serumah, papa sama mama kan gak tinggal serumah nak" Jawabku.

"Kenapa gak serumah?" Tanya Arfan.

"Ya udah kalau gitu serumah aja, terus papa sama mama kasih kita adek" Sahut Arhan.

Aku langsung canggung dan salah tingkah mendengar ucapan anak-anak. Bagaimanapun juga dulu aku pernah menjadi istri Mas Alfandy, jadi aku tau betul isi pikirannya sekarang.

"Udah jangan ngomong yang gak-gak kasian mama masih sakit. Ayok kita berangkat papa antar" Mas Alfandy memecah kecanggunganku.

"Kamu gak kerja mas?" Tanyaku saat kami sudah diperjalanan.

"Aku dinas siang" Jawabnya.

Anak-anak tampak senang dan bercanda di belakang. Sedangkan aku merasa canggung dengan posisi seperti ini.

Sekolah anak-anak

Setelah anak-anak turun aku tak lupa menitipkan mereka ke gurunya dan juga satpam sekolah. Aku tidak membenarkan siapapun menjemput anak-anak selain diriku.

"Nanti papa mama jemput lagi ya" Ucap Arfan.

"Papa gak janji ya, soalnya papa dinas siang ini" Ucap Mas Alfandy.

"Okedeh tapi sudah papa kerja main ke rumah ya, ajarin kita belajar. Kasian mama masih sakit kalau nemenin kita belajar nanti malam" Pinta Arfan.

"Iya pa kasian mama harus istirahat biar cepat sembuh. Papa mau kan ke rumah temenin abang sama Abang Arfan belajar?" Pinta Arhan.

"Papa janji pulang dinas ke rumah. Udah masuk ya nanti telat" Ucap Mas Alfandy.

Setelah anak-anak masuk Mas Alfandy kembali mengajakku masuk ke mobil dan berniat mengantarkan aku pulang.

"Aku naik taksi aja mas, terima kasih sudah repot mengantarkan ke rumah sakit dan sekolah anak-anak" Aku menjauh dari mobilnya.

"Kamu lagi sakit, izinkan aku antar kamu pulang. Aku tidak mau anak-anak sedih kalau kamu tambah sakit" Dia lagi-lagi menarik lenganku.

"Bukan muhrim mas!" Bentakku dan dia langsung melepaskan pegangannya.

Aku langsung berjalan menjauh darinya dan mencari taksi

Anakku Bukan AnakmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang