Alfandy Pov
Menyesal diakhir tiada berguna, itulah kalimat yang tepat menggambarkan keadaanku sekarang. Aku meragukan Almeera dan anak-anak, jadi mereka pergi. Aku merelakan Erin dan itu jadi kenyataan. Aku merasa menjadi laki-laki paling berdosa di dunia ini. Aku membuang anak-anak kandungku demi mempertahankan anak yang aku sendiri tidak tau siapa bapaknya.
Di luar sedang diadakan pengajian takziah malam pertama untuk almarhumah Erin. Aku tak sanggup untuk duduk di luar bersama yang lain. Aku masih merasa bersalah, aku memilih anak yang tak tau siapa bapaknya dibandingkan Erin yang dulu pernah ku cinta.
Tok! Tok! Tok!
Aku menoleh ke arah pintu kamar, itu pasti Mba Arumi, mama atau Nisa. Mereka bertiga lah yang dari siang tadi selalu membujukku untuk tidak terpuruk.
"Assalamualaikum, mas aku boleh masuk" Suara dari luar.
Aku menghapus air mataku, sebegitu rindu kah aku dengan Almeera sehingga aku berhalusinasi kalau dia yang mengetuk.
Tak ku jawab panggilan itu karena aku tau itu hanyalah halusinasi ku, sama seperti sebelumnya.
Tok! Tok!
"Boleh aku masuk mas?" Kembali suara itu.
"Pergi! Aku gak mau dengar halusinasi ini! Pergi!" Teriak ku.
Aku berharap suara itu hilang karena aku makin merasa bersalah ketika mendengar suaranya.
"Ceklek" Pintu terbuka.
"Almeera" Halusinasi ku makin menjadi.
Aku melihat Almeera berdiri didepan pintu, dia masih terlihat sama seperti sebelumnya. Wajah cantik manis yang teduh.
"Boleh aku masuk?" Tanya nya lagi.
Aku tak mau menjawab, aku mengusap-usap mataku berharap halusinasi ini hilang. Karena semakin lama aku berhalusinasi maka semakin rasa bersalah menghampiri.
"Pergi!" Teriak ku.
Sosok itu sepertinya ketakutan dan keluar dari kamar. Anehnya dia menutup kembali pintunya bukan menghilang seperti halusinasi ku sebelumnya.
Almeera Pov
Mas Alfandy sepertinya masih sangat terguncang, aku tidak mau membuatnya makin syok. Lebih baik aku tunggu dia sendiri keluar dari kamarnya.
"Gimana Al, Ra?" Tanya mama.
"Mas Alfandy tak mau ditemui ma. Biar saja dulu dia menenangkan diri" Jawabku.
Aku duduk di samping anak-anak yang nampak khusyuk mendengar ceramah ustadz. Sesekali ustadz ini membuat lelucon yang membuat kami tertawa. Mungkin maksud ustadz nya agar keluarga yang ditinggal bisa sejenak melepas kesedihan.
"Mau pipis ma" Arhan menarik lenganku.
"Sama kakak aja" Tawar Rahma.
Arhan menggeleng dan tetap menarik lenganku.
"Udah ayok sama abang" Akhirnya dia mau ditemani abangnya saja.
"Malu dia kak" Ucapku ke Rahma agar Rahma tak kecil hati karena ditolak Arhan.
"Hehe iya kan mereka cowok kak masa mau ditemani kakak, kakak kan cewek" Ledek Lea.
"Lupa dek, haha" Rahma tertawa kecil bersama Lea.
"Semoga adeknya ini cowok ya biar ada adik cowok juga. Adek cewek ribet kan ngeselin juga" Pancing Nisa yang langsung membuat Lea mengerucutkan bibirnya.
"Mama" Lea mengadu ke Mba Arumi.
Mba Arumi yang tadinya fokus mendengar ceramah jadi bingung, Lea tiba-tiba merengek.

KAMU SEDANG MEMBACA
Anakku Bukan Anakmu
Ficción GeneralMenceritakan seorang istri yang diusir karena tidak bisa memberikan anak untuk suaminya. Tetapi setelah diusir dia baru mengetahui kalau dia hamil.