Langit malam Kota Sentral. Di bawah terang rembulan, seorang perempuan terbang menggunakan selendang bak dewi turun dari kahyangan. Mata dewi yang indah bagai berlian itu menatap tajam ke kerumunan manusia yang sedang menari tanpa henti dengan hati terluka.
Tangannya yang putih mengayun gemulai ke depan, dari kulitnya yang halus, tumbuh sehelai kain selendang dengan corak yang indah. Kain itu bagai ular, merayap di udara menuju satu gadis yang menangis memanggil ibunya.
Dengan cepat, setelah sampai ke tujuan, kain itu lalu menyelimuti seluruh tubuh gadis, menghentikannya menari. Sang Puteri Bulan, kemudian mendermakan auranya ke gadis itu dengan lembut.
Gadis merasakan kehangatan di setiap tubuhnya. Tangisnya kini berhenti, senyum indah terlukis, dan kakinya yang telah lelah pun akhirnya terhenti. Gadis itu terduduk menengadah, tatapannya terpukau akan sosok perempuan yang melayang dengan mata berkilau di bawah sinar rembulan.
"Puteri Bulan…" Kini air mata bahagia mengalir.
Arvi yang melihat kalau metodenya berhasil, tersenyum tipis memandangi gadis yang menitikkan air mata di bawah sana. Arvi mengangguk pada gadis itu, sebelum akhirnya dia memindai semua orang yang menari dalam jarak pandangnya.
Arvi kemudian menyebar auranya, memindai ulang agar lebih akurat. Setelah yakin dengan semua posisi setiap orang di sana, Arvi tanpa pandang bulu, menumbuhkan ratusan kain dari kulitnya untuk menyelimuti semua orang di sana.
Satu persatu orang-orang terselimuti oleh kain yang Arvi kirim. Orang-orang itu kini seperti mumi, terbalut rapi tanpa meninggalkan sejengkal kulit pun terekspos. Arvi lalu menyalurkan auranya ke setiap kain. Menyelebungi semua mumi dengan lapisan aura yang akan melindungi mereka dari gelombang hipnotis.
Orang-orang pun berhenti menari, semuanya terjatuh akibat badan yang telah kelewat lelah. Mereka menengadah, melihat Arvi yang melayang anggun di atas mereka. Inilah Puteri Bulan, avonturir kebanggaan Nusa, yang kuat menawan mensejukkan mata.
"Terima kasih," semua orang di sana menunduk menyanjung Sang Puteri Bulan.
Arvi tersenyum melihat semua orang telah selamat dari ikatan tarian maut. Pandangannya kini beralih ke tempat lain, ke lokasi lain di mana tarian maut masih dilakukan.
Arvi kembali terbang, melaju cepat ke lokasi berikutnya. Tidak berselang lima menit, Arvi sudah menemukan puluhan orang menari bersama. Dia mendapati pula belasan orang telah menari dengan posisi gak karuan. Sinar di mata Arvi sedikit redup.
'Sudah terlambat.'
Sama seperti sebelumnya, Arvi memindai seluruh orang di sana dengan mata dan auranya, sebelum membalut mereka dengan kain yang ia hasilkan dari kekuatan [Nawang Wulan].
Setelah beres, Arvi langsung bergegas ke lokasi selanjutnya. Dengan cekatan Arvi menyelamatkan setiap kelompok yang menari, lalu berpindah ke tempat lain. Siklus ini terjadi berkali-kali, dan Arvi pun mulai merasakan jumlah aura dalam dirinya mulai berkurang.
Arvi pandang Kota Sentral secara luas di langit malam, ia mulai merasa pesimis dengan jumlah aura yang ia miliki, terasa tidak mungkin kalau ingin menyelematkan semua orang. Saat ini, ia bahkan belum menyelamatkan setiap orang dari sepersepuluh luas Sentral.
Arvi mengerutkan dahinya, lalu memandang jauh ke arah letak terowongan bekas monorel.
"Ratna…."
Arvi selalu merasa kalau perannya pada perang kali ini adalah sebagai pembantu. Baginya kini yang memiliki perang penting pada perang ini adalah Ratna dan tim penyelamat di terowongan sana. Dan juga…

KAMU SEDANG MEMBACA
master buku mengantuk
AzioneKetika umurnya beranjak sepuluh tahun, Bayu tiba-tiba mendapati dirinya mengidap narkolepsi. Hidupnya yang dipenuhi tawa pun berubah menjadi kelam. Rasa kantuk selalu manghantui dirinya, membuat masa kecilnya lebih sering ia habiskan di kamar untuk...