Gerbang utama Kota Akademi.
Sebuah mobil jip terbang hitam tampak terlihat dikejauhan oleh petugas penjaga. Petugas itu lalu memakai teropong untuk melihat lebih jelas, dari bagian plat nomor mobil, ia langsung tahu kalau mobil jip itu berasal dari Sentral. Sesungguhnya petugas itu agak terkejut, sangat jarang ia menemui seseorang dari luar kota datang ke Kota Akademi menggunakan mobil. Bulan ini saja dia rasa tidak ada sama sekali.
Petugas itu lalu melaporkan apa yang dilihatnya ke markas di bagian belakang tembok melalui earphone. Mobil jip itu kian mendekat, jarak dua puluh meter sebelum mencapai gerbang. Mobil itu dengan teratur mengantri di belakang antrian mobil lain.
Pengemudi mobil, yakni Anggi, melihat antrian di gerbang kota cukup panjang. Terlebih pada antrian orang-orang yang berjalan kaki. Antriannya bahkan lebih panjang melebihi antrian transportasi. Anggi mulai heran, dia merasa ada yang tidak beres. Dia bisa memaklumi kalau antrian itu merupakan antrian dari dalam kota ke luar, bukan sebaliknya. Dan jelas sekali, kalau orang-orang yang mengantri bukanlah avonturir, mereka hanyalah orang biasa.
Semua orang itu tampak muram, raut mereka dibalut suasana kelam. Dari wajah mereka, Anggi bisa melihat mata sembab sisa tangisan. Wajah putus asa dengan tatapan kosong. Wajah dendam dengan gertakan giginya. Serta orang-orang yang tamapk tidak memiliki jalan tujuan lagi, dengan kepalanya yang selalu tertunduk.
Waktu sedikit demi sedikit berlalu, Anggi telah sampai di pos pemeriksaan. Salah satu petugas menghampiri lalu mengetuk kaca mobilnya.
Tok tok
Anggi menurunkan kaca mobil. Petugas kini melihat sosok pengendara dari Sentral itu, ia sedikit terkejut ketika melihat si pengendara ternyata seorang perempuan muda. Perempuan itu memakai kacamata hitam pekat.
"Selamat sore mbak, boleh saya minta kartu identitas dan SIM?"
Tanpa sepatah kata, Anggi langsung menyerahkan kartu ID dan SIM yang sudah ia simpan di dashboard mobil. Setelah menerima kartu, petugas langsung mengecek keasliannya dengan pemindai. Setelah hasil menunjukkan bahwa Anggi memang penduduk Nusa dan izinnya masih berlaku, petugas itu mengembalikkan kartu.
"Dengan maksud tujuan apa Mbak Anggi datang ke Kota Akademi?"
"Saya sedang menjalani misi dari guild."
"Oh, kalau begitu, boleh saya lihat kartu avonturirnya?"
"Maaf, tapi kartu saya ketinggalan di Kembang."
Petugas itu lalu agak canggung. Kalau Anggi datang setidaknya tiga hari sebelumnya, mungkin ia bisa masuk ke dalam kota dengan mudah. Namun, kejadian empat hari lalu membuat Kota Akademi sedang dalam kondisi siaga. Walikota memerintahkan pemeriksaan ketat bagi warga dari luar kota yang ingin masuk.
"Uhmmmmm—Mbak, bisa beritahu misi yang akan dijalankan di Kota Akademi?"
Anggi tidak berkata apa-apa, Biasanya petugas gerbang tidak menanyakan misi seorang avonturir, apalagi mengingat banyaknya avonturir yang masuk keluar gerbang tiap hari. Hal itu hanya akan membuang waktu.
Belum lagi adanya beberapa misi yang dianggap rahasia, namun bukan berarti mereka tidak bisa memerlihatkannya, apalagi ke petugas militer. Sayangnya, Anggi belum masuk guild, dia tidak memiliki misi resmi dari guild. Apa yang harus dia perlihatkan?
Anggi kembali melihat situasi antrian lewat kaca spion, keadaan ini, Anggi mengetahuinya, "Apa yang terjadi? Apa kota sedang dalam kondisi siaga?"
Petugas itu tampak sedikit gugup. Anggi merasa perkiraannya benar, bukan saja siaga, pasti ada hal lain. Kalau tidak, Anggi tidak akan melihat prajurit muda tidak berpengalaman di depannya saat ini. Prajurit itu tetap tidak menjawab, Anggi hanya melihat mulutnya yang terbuka tertutup tapi tidak menimbulkan suara.
"Haa~ aku tidak bisa memperlihatkan misiku. Tapi bisa kukatakan aku kemari untuk memburu seorang buronan kelas atas."
KAMU SEDANG MEMBACA
master buku mengantuk
حركة (أكشن)Ketika umurnya beranjak sepuluh tahun, Bayu tiba-tiba mendapati dirinya mengidap narkolepsi. Hidupnya yang dipenuhi tawa pun berubah menjadi kelam. Rasa kantuk selalu manghantui dirinya, membuat masa kecilnya lebih sering ia habiskan di kamar untuk...