Jilid 9

1.2K 24 0
                                    

"Bagus! Rupanya kau benar-benar manusia hina? Orang she Bin itu telah mengambil dan merampas kekasihmu yang dijadikan isterinya..... sekarang malah engkau menolonginya! Engkaulah manusia yang paling rendah dan hina di dalam dunia ini.

"Kelak aku akan memperhitungkan segalanya dengan kau! Dan mengenai urusanku dengan orang she Bin tersebut, tetap akan kulanjutkan, walaupun bagaimana dia tetap harus kubinasakan.....!"

Setelah berkata begitu, Lung Hie menjejakkan kakinya, tubuhnya segera juga mencelat ke tengah udara, di mana dia berjumpalitan dua kali, tanpa menginjak tembok, di saat itu dia telah berada di luar gedung.

Hok An yang telah dimaki seperti itu oleh Lung Hie, jadi berdiri mematung di tempatnya. Dia berdiam bagaikan patung, sampai akhirnya dia telah mengeluarkan suara jeritan, menjejakkan kakinya meninggalkan gedungnya Bin Wan-gwe.

Bin Hujin yang melihat Hok An hendak berkata, telah berteriak: "Hok An.....!" tergetar suaranya, dan dia telah terlambat, sebab Hok An telah lenyap di balik tembok itu, malah tidak terdengar suaranya maupun terlihat bayangannya lagi.

Bin Hujin menutupi wajahnya dengan ke dua tangannya dan menangis terisak-isak, tubuhnya gemetaran. Akan tetapi setelah berhasil menguasai perasaan dan goncangan hatinya, dia berlari ke dalam gedung buat melihat keadaan suaminya.

Waktu Bin Hujin tengah berlari-lari memasuki ruangan di dalam gedung tersebut, dia berpapasan dengan puterinya, yang segera dirangkulnya.

"Mana ayahmu.....?" tanya Bin Hujin dengan suara tergetar di antara isak tangisnya.

"Tadi..... tadi ayah berlari masuk ke dalam kamar!" kata gadis cilik itu.

Bin Hujin mengajak puterinya pergi ke kamar Bin Wan-gwe. Waktu pintu kamar di buka, tampak sesosok tubuh menggeletak di lantai.

Bin Hujin menjerit keras dengan hati pilu, karena yang rebah di atas lantai tidak lain dari Bin Wan-gwe, yang rebah dengan muka pucat pias. Dia pingsan, karena tengah dalam ketakutan bukan main, setelah berhasil melarikan diri ke dalam kamarnya, pingsan..... terlebih lagi memang dia terluka di dalam yang cukup parah, di mana dia telah memuntahkan darah yang banyak sekali.

Setelah sadar apa yang terjadi, Bin Hujn menjerit-jerit memanggil para pelayan dan anak buah Bin Wan-gwe, buat mengangkat Bin Wan-gwe ke atas pembaringan. Kemudian memanggil tabib guna mengobati luka Bin Wan-gwe, luka di dalam tubuh yang parah sekali. Karena sepanjang hari itu Bin Wan-gwe tetap dalam keadaan pingsan tidak sadarkan diri, Bin Hujin dan puterinya hanya menangis terisak-isak saja dengan segala macam perasaan menggoncangkan hatinya.....

◄Y►

Rembulan tergantung di langit dengan sinarnya yang sangat terang benderang, di samping itu juga terlihat jelas sekali pohon-pohon yang terhembus oleh siliran malam, bagaikan bayangan raksasa.

Di bawah sebatang pohon yang cukup besar di tepi jalan di luar pintu kampung sebelah barat, tampak duduk sesosok tubuh dengan bercakung diri, ke dua tanganya bertopang pada dagunya. Dia memandang dengan sikap yang muram sekali kepada rembulan, matanya yang kuyu tidak bersinar itu mengandung kepedihan yang mendalam.

"Cinta..... apakah cinta itu?!" menggumam orang tersebut dengan suara yang serak. Dia seperti juga tidak merasakan dinginnya angin malam yang menerpah tubuhnya.

"Dan apakah artinya semua perjalanan hidupku ini yang hanya dipermainkan oleh cinta belaka? Atau memang dia masih mencintai aku? Ohhh, aku benar-benar seperti juga orang sinting yang mengharapkan yang tidak-tidak! Dia sangat mencintai dan menyayangi suaminya, dan diapun begitu menguatirkan suaminya..... juga dari perkawinannya telah diperoleh anak.....

"Bagaimana mungkin aku masih bisa mengharapkan yang tidak-tidak? Bukankah satu-satunya yang cukup bisa membahagiakan dan menghibur hatiku adalah membiarkan dia hidup bahagia di samping suami dan anaknya?!"

Anak RajawaliWhere stories live. Discover now