Jilid 24

873 24 0
                                    

Pagi itu, si Giok tengah bermain-main dengan Tiauw-jie di mulut goa ular raksasa tersebut. Waktu itulah si Giok mendengar ular raksasa itu mendesis-desis. Karena sudah terlalu lama berdiam di goa itu, maka si Giok mengerti apa maksud dari sikap ular itu, yaitu memanggilnya bersama dengan Tiauw-jie.

Tiauw-jie pun yang mengerti apa maksud panggilan "ibu" nya tersebut, segera masuk ke dalam ruangan goa itu, di mana ular raksasa itu berada. Si Giok juga ikut masuk.

Ular raksasa itu mengulurkan kepalanya, dia menyelusup-nyelusup ke tubuh Tiauw-jie, dengan penuh kasih sayang, seperti juga seorang ibu yang tengah membelai mesra dan penuh kasih sayang pada anaknya.

Sedangkan Tiauw-jie juga menyelusupkan kepalanya di antara tubuh "ibu"nya tersebut.

Setelah membelai-belai Tiauw-jie beberapa saat, di mana si Giok hanya mengawasi dengan perasaan mengiri, karena dia segera teringat kepada keadaan dirinya, yang yatim piatu, tidak memiliki ayah dan ibu lagi, yang telah meninggal semuanya. Hal ini membuat si Giok jadi memandang tertegun saja, dan diapun haus akan belaian kasih sayang seorang ibu.

Tiba-tiba kepala ular itu terjulurkan, melesat dan melilit tubuh si Giok.

Bukan main kagetnya si Giok. Belum lagi dia mengetahui apa yang terjadi, tubuhnya telah tertarik maju diseret oleh ular itu. Tetap saja lilitan ular tersebut tidak terlepas, walaupun si gadis meronta cukup kuat.

Dalam keadaan demikian si Giok jadi merasa ngeri dan takut melihat kepala ular itu berada di depan matanya, di mana dia melihat kulit yang bersisik dan berlendir.

Belum pernah ular itu memperlihatkan sikap sedemikian luar biasa, melilit tubuh si Giok. Disamping itu juga keadaan ular itu benar-benar lain dari biasanya. Matanya begitu tajam mengawasi si Giok, yang berada dekat sekali dengannya, dalam lilitannya.

Seketika si Giok sebagai manusia, dapat berpikir, mungkin juga ular ini tengah lapar dan hendak memakannya. Rasa takutnya jadi semakin menjadi-jadi, dia segera berteriak sekuat suaranya memanggil Hok An, yang waktu itu tengah berada di goa mereka.

Tiauw-jie pun kaget melihat sikap ibunya seperti itu, dia sampai maju dan memandang dengan sikap terheran-heran. Akhirnya dia telah menundukkan kepalanya, dari matanya menitik butir-butir air mata yang bening.

Melihat Tiauw-jie menangis, ular raksasa tersebut segera mendesis-desis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Rupanya dia tengah berusaha menjelaskan kepada Tiauw-jie, bahwa dia tidak bermaksud jahat kepada si Giok.

Sebagai makhluk yang sejak ditetasi selalu menerima limpahan kasih sayang ular itu, Tiauw-jie seperti mengerti apa yang dimaksudkan ular itu, dia segera mengibaskan sepasang sayapnya. Lenyap sikap dukanya kemudian keluar dan terbang mengeluarkan suara pekiknya yang nyaring, seperti seorang anak yang tengah kegirangan.

Si Giok yang mendengar suara pekik anak burung rajawali tersebut justeru jadi tambah ketakutan, karena dia menduga bahwa ular raksasa itu benar-benar bermaksud hendak mencelakainya.

Hok An sendiri yang tengah terlelap tidur di dalam goanya, terbangun kaget mendengar suara pekik Tiauw-jie yang begitu berisik. Segera Hok An keluar dari goanya, sehingga ia melihat Tiauw-jie tengah terbang sambil mengibas-ngibaskan sayapnya itu kuat-kuat, dan terus memekik tidak hentinya.

Hok An seketika tercekat hatinya, dia menduga Tiauw-jie tengah memberitahukan padanya bahwa si Giok tengah menghadapi bahaya.

"Apa yang terjadi, Tiauw-jie?!" teriak Hok An. "Di mana si Giok?"

Burung itu mendengar dipanggil Hok An, segera terbang mendekati, dengan tetap memekik, sayap kanannya telah menunjuk ke arah goa ular.

Cepat-cepat Hok An berlari ke arah goa ular itu, dia diliputi kekuatiran yang luar biasa.

Anak RajawaliWhere stories live. Discover now