Dengan keadaannya seperti itu menunjukkan bahwa pendeta ini memang memiliki kepandaian yang tinggi.
Kam Lian Cu tadi telah berlari begitu cepat dan juga telah berusaha untuk menggunakan seluruh tenaganya, sampai ia begitu letih dan napasnya memburu keras.
Tapi kenyataannya pendeta itu sama sekali tidak memburu sedikitpun juga napasnya. Dia malah tampak tenang-tenang saja.
Dengan demikian seperti itu, segera juga Kam Lian Cu dapat menarik kesimpulan bahwa pendeta ini tentunya seorang yang memiliki kepandaian yang tidak ringan dan tidak mau menonjolkan diri.
Sebagai seorang rimba persilatan, si gadis yang juga mengerti, tentunya pendeta ini bukan orang sembarangan. Cepat-cepat Kam Lian Cu bangun berdiri, dia menjatuhkan dirinya dihadapan si pendeta. Sambil menangis menggerung-gerung dan katanya:
"Locianpwe, terima kasih atas pertolongan locianpwe......!"
Pendeta itu memintanya agar dia bangun dan tidak melakukan peradatan. Pendeta itu kemudian bilang:
"Sekarang maukah kau nona menceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi?!"
Pipi Kam Lian Cu berobah merah. Dia malu bukan main mengingat lagi akan peristiwa yang membawa aib luar biasa buat dirinya. Namun di antara isak tangisnya, dengan suara yang tersendat-sendat, dia menceritakan apa yang telah terjadi dan menimpah dirinya.
Mendengar cerita Kam Lian Cu seperti itu, maka pendeta tersebut jadi merah padam, dia tampaknya murka bukan main. Malah tangan kanannya telah menepuk batu di sampingnya.
"Plakkk!" batu itu kena dihantamnya sampai sempal dan sebagian hancur menjadi bubuk. Malah dengan suara mengandung kemurkaan dia bilang:
"Sungguh biadab sekali manusia she Bun itu.....! Bun Siang Cuan. Itulah nama baru buat rimba persilatan. Tapi perbuatannya ini, suatu perbuatan yang biadab yang selama ini belum pernah Lolap dengar.......!"
Waktu berkata begitu, tubuh si pendeta tampak menggigil keras karena menahan kemarahan yang sangat hebat.
Sedangkan Kam Lian Cu jadi menangis tambah sedih terisak-isak.
"Sebetulnya Locianpwe....... boanpwe tadinya bermaksud hendak membunuh diri. Tapi akhirnya boanpwe bertekad buat hidup terus. Karena boanpwe bermaksud membalas sakit hati yang sedalam lautan ini.....!" kata Kam Lian Cu kemudian.
Pendeta itu menghela napas lagi.
"Kau jangan berputus asa dalam usia semuda ini, karena masih banyak yang perlu engkau lakukan untuk dapat melakukan perbuatan besar.....!" dan si pendeta telah mengawasi si gadis, akhirnya dia menghela napas lagi.
"Nasibmu memang malang benar.....!"
Tiba-tiba Kam Lian Cu telah berlutut di hadapan si pendeta sambil mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Dia menangis sesambatan.
Kemudian katanya di antara isak tangisnya:
"Locianpwe, tolong boanpwe! Terimalah boanpwe sebagai murid, karena boanpwe kelak hendak membalas sakit hati dengan membunuh Bun Siang Cuan dengan tangan boanpwe sendiri, begitu juga si..... si..... si kera..... kera bulu kuning itu.....!"
Pendeta itu tampak tertegun sejenak. Sulit baginya buat menerima seorang murid wanita. Dia adalah seorang pendeta, dengan demikian tidak pantas dilihat umum kalau saja memang dia menerima seorang murid wanita.
Akhirnya pendeta itu menghela napas.
"Baiklah.....!" katanya kemudian dengan suara yang terharu. "Aku bersedia menerima engkau, tapi bukan sebagai murid, hanya sebagai sesama manusia yang tengah dalam kesulitan dan ditimpah bencana, di mana Lolap akan mewarisi seluruh kepandaian dan ilmu Lolap..... Namun tidak bisa di antara kita diadakan sebutan Suhu atau murid. Mengertikah kau?!"
YOU ARE READING
Anak Rajawali
AdventureLanjutan "Beruang Salju". *note : Jilid kelipatan 5 di cinkeng ini cayhe private, hanya follower yg dpt membacanya. Kamsia