"Lihatlah paman Hok..... betapa indahnya burung rajawali putih itu.....!" kata si Giok dengan gembira. "Jika saja aku, bisa berkawan dengannya dan bisa naik di punggungnya sehingga bisa diajak terbang bersamanya. Oohh, betapa menggembirakan sekali!"
"Kau mau naik di punggung burung rajawali itu?!" tanya Hok An
"Ya paman, untuk terbang bersamanya!" kata si Giok dengan suara mengandung pengharapan dan juga kegembiraan.
"Jika begitu, biarlah akan kutangkap dan kuperintahkan nanti agar burung rajawali itu membawamu terbang di tengah udara!" kata Hok An.
"Ohh....., jangan paman..... jangan.....!" mencegah si Giok.
"Kenapa?!" tanya Hok An heran dan mengawasi si gadis cilik tersebut.
Si Giok tidak tertawa, dia memperlihatkan sikap sungguh-sungguh.
"Jika paman Hok menangkapnya, nanti burung itu bersedih, dia tentu membenciku..... Jika memang dia membenci paman dan aku, niscaya diapun tidak bersedia membawaku terbang! Terlebih lagi, jika sampai burung itu dipaksa tidak berdaya. Bukankah harus dikasihani......?!"
Hok An tersenyum.
"Dia hanya seekor burung belaka....., jika kita tidak menjinakkannya, tidak mungkin dia akan menurut!" kata Hok An berusaha menjelaskan kepada si Giok.
Si Giok menggeleng.
"Jangan Paman..... nanti burung itu bersedih!" katanya, tetap mencegah. "Atau jika nanti paman berusaha menjinakkannya dan dia melawan, niscaya paman akan mempersakiti dia! Jangan paman..... biarlah burung itu pergi, aku tidak mau naik di punggungnya lagi...... biarlah burung itu pergi!"
Hok An menghela napas.
"Giok! Giok!" pikir Hok An di dalam hatinya. "Betapa mulia dan luhurnya jiwamu sama seperti ibumu waktu berpacaran denganku..... Betapa lembut dan penuh kasih sayang terhadap makluk manapun juga! Hanya saja aku heran, mengapa setelah menikah dengan Bin Wan-gwe, ibumu itu jadi tidak acuh sama sekali padaku, seperti juga dihatinya tidak berbekas sisa cinta kasih kami di masa lalu?!"
Sesungguhnya, apa yang dirasakan oleh Hok An merupakan hal yang biasa saja. Hanya saja, disebabkan Hok An lebih menitik beratkan kepada soal perasaan, maka dia lebih cenderung ingin melihat sambutan yang hangat dari Un Kim Hoa.
Mengingat dia telah memperjuangkan sekian tahun mencari-cari Un Kim Hoa, dan akhirnya waktu bertemu, setelah bersengsara sekian tahun, dia memperoleh sambutan yang tawar dari Un Kim Hoa, sehingga menyebabkan dia kecewa. Sebenarnya, memang demikianlah kewajaran yang ada.
Walaupun bagaimana mesranya pasangan muda-mudi yang berkasih-kasihan, akan tetapi jika hubungan terputus dan si gadis menikah dengan orang lain, tentu saja dia harus menghargai suaminya. Tidak bisa pertemuannya dengan bekas kekasihnya itu membuat dia menyambut dengan hangat.
Walaupun dihatinya timbul pergolakan melihat bekas pacarnya, kekasih yang dulu sangat dicintainya, gadis yang telah menjadi isteri orang lain tersebut akan menindih dalam-dalam perasaannya itu. Semua itu faktor yang terpenting adalah rasa tanggung jawab bahwa ia telah menjadi milik orang lain.
Maka jika saja Hok An menyadari hal itu, niscaya dia tidak akan kecewa seperti itu. Memang dimasa berpacaran dapat memperoleh sambutan yang hangat panas, dan sambutan yang dingin belakangan ini diterimanya adalah merupakan hal yang wajar.
Waktu itu burung rajawali putih, yang seluruh bulunya berwarna putih mulus bagaikan gumpalan salju tersebut, telah berputar-putar beterbangan di sekitar tempat itu. Si Giok mengawasinya dengan hati yang ingin sekali berkawan dengan burung rajawali tersebut. Hanya saja disebabkan dia kuatir kalau-kalau nanti Hok An mempersakiti burung itu buat memaksanya agar menjadi jinak, si Giok akhirnya menekan keinginannya sendiri dan lebih rela jika burung rajawali itu dilepaskan pergi.
YOU ARE READING
Anak Rajawali
AdventureLanjutan "Beruang Salju". *note : Jilid kelipatan 5 di cinkeng ini cayhe private, hanya follower yg dpt membacanya. Kamsia