Jilid 136

598 16 0
                                    

Ciu Yang Cin pun ikut menyaksikan, maka sendirinya muka begal itu jadi pucat. Hebat ilmu pedang si "pemuda". Coba dia membalas menyerang, tentu mudah saja dia merebut kemenangan.

Juga pisuwsu lainnya ikut jadi kagum.

Sebentar saja sudah lewat delapan jurus. Hati Siam Ki berdebaran. Wajahnya telah jadi guram dan memerah. Ia heran dan penasaran sekali. Ia jadi berkuatir.

Ia berduka juga ketika ia berpikir akan runtuhlah namanya. Sudah delapan jurus tanpa ada hasilnya. Tinggal lagi dua jurus. Bagaimana hasilnya.

"Akh, habislah aku, habislah aku..........!" pikirnya pada akhirnya ia jadi putus asa.

Tepat disaat jago ini mau menyerang untuk kesembilan kalinya, mendadak terlihat lari datang tujuh orang, gerakannya sangat cepat. Dengan melompat dari tempat yang tinggi sampailah orang-orang tersebut di antara mereka ini.

Giok Hoa dan Siam Ki mundur sendirinya.

Ketika Ciu Yang Cin telah melihat jelas rombongan itu, ia jadi berseru kegirangan: "Kauw Supek!"

Giok Hoa sebaliknya mengawasi tajam, sehingga dia dapat melihat jelas mereka itu.

Empat orang adalah orang-orang tua yang kepalanya lanang, lanang juga alis dan kumisnya. Bajunya serupa, yaitu baju panjang berwarna kuning, cuma wajah mereka.

Yang satu belang mukanya, pipi kirinya warna merah ungu, banyak bekas tapaknya. Yang kedua matanya besar-besar sipit, yang ketiga mukanya keriputan dan kulit muka itu seperti juga permukaan kawah gunung berapi. Sedangkan yang ke empat seorang pendeta muka celong dan mata yang tajam.

Tiga yang pertama berusia pertengahan, berdiri di belakang yang bermata celong itu. Dan tiga orang lainnya lagi berdiri di belakang ke empat orang tersebut.

Tiga orang yang lainnya itu berusia pertengahan juga, pakaian mereka hitam semuanya. Wajahnya licin.

Setelah berseru memanggil, Ciu Yang Cin melompat menghampiri ke empat orang tua itu, guna memberi hormat.

Si muka belang tertawa dan bertanya, "Ciu Hiantit, apakah gurumu baik-baik saja?" Kemudian matanya menyapu, lantas ia menegaskan pertanyaannya: "Mengapa kalian bentrok?"

"Terima kasih supek, guruku baik!" menyahuti Yang Cin sambil berdiri dengan sikap yang amat menghormat sekali! Ke dua tangannya diturunkan lurus. Setelah itu ia memberikan keterangannya.

Orang yang mukanya belang tersebut memperdengarkan suara tertawanya.

"Sudah beberapa puluh tahun aku tidak turun gunung. Aku tidak sangka sekarang ada beberapa bocah yang berani menyebut dirinya sebagai ahli pedang!" katanya, jumawa sekali. "Dan orangpun berani berebutan!"

Lagi sekali setelah berkata begitu ia tertawa keras dan lama.

Ke tiga orang tua lainnya berdiam saja, wajahnya dingin, sehingga mereka mirip dengan pendeta-pendeta mayat hidup.....

Waktu itu wajah Boan Siam Ki berobah, rupanya ia mendongkol sekali. Karena ia menyadari, kata-kata si pendeta muka belang itu ditujukan buat dirinya juga.

Tong Teng Bun sendiri segera menghampiri Ko Tie.

"Aku telah mendengar berita, dari Tiong-goan muncul banyak sekali jago-jago muda!" Terdengar lagi pendeta muka belang itu telah meneruskan kata-katanya! "Aku Kauw Hie Hweshio, terpaksa harus turun gunung untuk membuktikannya sendiri.....!"

Ko Tie tertawa dingin, sikapnya memandang ringan kepada para pendeta itu. Giok Hoa yang mendengar kekasihnya tertawa dingin sampai melirik padanya.

Anak RajawaliWhere stories live. Discover now