Jilid 17

1K 21 0
                                    

Pelajar baju putih itu tertawa-tawa girang.

"Jika melihat mereka seperti juga melihat empat orang dewa yang tengah duduk bersemedhi di atas daun teratai!" kata pelajar itu sambil menoleh dan melirik pada Hok An.

Hok An mengambil sikap seperti tuli tidak mendengar perkataan pemuda itu. Dia mendongkol karena tadi ditanggapi seperti itu oleh pemuda tersebut, maka sekarang dia yang tidak mau melayani pelajar itu.

Melihat Hok An berdiam diri saja, pelajar berbaju putih itu tidak tersinggung, dia tertawa lagi, kemudian langan kanannya melontarkan batu kerikilnya lagi, sehingga batu itu meluncur dengan cepat.

Kali ini, mungkin juga karena perhitungan tenaga menimpuknya tidak tepat, batu kerikil tersebut tidak jatuh di permukaan air empang, melainkan meluncur dan menghantam kepada Pak-kiang. Agak keras benturan itu, sampai terdengar suara "Tukkk!"

Hok An tercekat hatinya, tetapi dia hanya melirik kepada pelajar tersebut, sedangkan pelajar itu tampak kaget melihat batu yang ditimpukkannya mengenai kepala Pak-kiang.

"Ohhh, maaf, maaf, aku tidak sengaja!" Pelajar itu berseru-seru sendirinya.

Pak-kiang sesungguhnya masih bermaksud hendak menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya guna meneruskan pertandingan mengukur tenaga dan kepandaian itu. Namun disebabkan kali ini kepalanya yang terkena timpukan batu kerikil itu, walaupun tidak terlalu sakit, Pak-kiang jadi gusar juga, karena menduga ada orang yang hendak mempermainkannya dan mengganggunya. Dia telah menarik pulang hawa murninya, dia bermaksud untuk memisahkan diri.

Setelah hawa murni itu berhasil ditariknya pulang ke Tan-tian, Pak-kiang melompat berdiri. Kebetulan waktu itu si pelajar tengah menimpuk lagi.

Tadi dia menimpuk agak rendah dan mengenai kepala Pak-kiang. Karena sekali ini pelajar itu menimpuk agak ke atas. Siapa tahu, waktu batu itu tengah meluncur, justru Pak-kiang tengah berdiri. Keruan saja kepalanya telah dihantam batu kerikil itu pula.

Hati Hok An tergoncang juga menyaksikan semua itu, diam-diam dia jadi menguatirkan keselamatan si pelajar. Walaupun tadi dilihatnya pelajar baju putih ini seorang yang tidak berbudi, namun sebagai seorang rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, dia mengetahui siapa adanya Pak-kiang. Sedangkan pelajar itu tampaknya lemah dan tidak mengerti ilmu silat. Sekali saja Pak-kiang menggerakkan tangannya, niscaya pelajar itu akan terluka hebat atau terbinasa.

Pak-kiang waktu merasakan kepalanya disambar batu kerikil itu lagi, segera memutar tubuhnya, sehingga ia melihat Hok An dan pelajar baju putih itu tengah berdiri di tepi empang. Dan mata Pak-kiang yang tajam dapat melihat di tangan pelajar baju putih itu masih terdapat sisa beberapa butir batu kerikil.

Dengan wajah yang memerah, Pak-kiang menjejakkan kakinya, tubuhnya telah melesat ke darat ke dekat pelajar itu. Dengan mendongkol dan sikap sengit, dia menegur di saat dia melompati salah satu daun teratai yang berada di tepi empang itu:

"Apakah engkau yang menggangguku?!"

Pelajar itu memandang Pak-kiang dengan mulut terpentang lebar, rupanya dia takjub melihat Pak-kiang dengan beberapa kali lompatan dan menotol daun-daun teratai cepat sekali telah bisa berada di dekatnya

Melihat pelajar itu tidak menyahuti, Pak-kiang tambah mendongkol. Dia menoleh kepada Hok An: "Dia atau engkau yang telah menimpukkan batu pada kepalaku, heh?!"

Hok An jadi serba salah, cepat-cepat dia merangkapkan ke dua tangannya, katanya: "Maafkan, pelajar itu, tampaknya agak tolol dan tidak mengerti ilmu silat, tadi dia tanpa sengaja telah menimpukkan batu mengenai kepala Lojinke.....!"

Pak-kiang memperdengarkan suara tertawa dingin.

"Agak tolol dan tidak mengerti ilmu silat?!" katanya. "Hemmm, kentut kosong, saja kau! Jika memang dia tidak memiliki kepandaian ilmu silat, mana mungkin dia bisa menimpukkan batu itu mengenai kepalaku?!"

Anak RajawaliWhere stories live. Discover now