Octagon 2 - 105 : Para Jiwa yang Terluka

376 51 44
                                    

Malam hari, pintu diketuk berulang.

San, melirik ke arah pintu dari posisinya duduk di kasur, bagian tepi. Hanya diam beberapa detik, sebelum mempersilahkan pintu kamar itu dibuka.

Maka, yang mengetuk melakukannya.

Juyeon, melangkah masuk secara tak enak, untuk menemuinya. Di mana sebelum mendapatkan protes, Juyeon langsung menjelaskan. "Wooyoung yang minta waktu sendiri dulu—dari pagi udah gue temenin. Mungkin dia muak juga karena gue ajak ngobrol terus biar pikirannya kealih."

"Hm..." San bergumam.

Karenanya, Juyeon pun menutup pintu, lalu mendekat padanya secara hati-hati. "Ini kalau lo izinin sih, tapi, biarin gue nginep di sini."

"Tapi janji temani Wooyoung?" San menuntut, sembari memperhatikannya yang mendudukan diri di tepian, dekat kakinya.

Hanya saja Juyeon membalas. "Bukan gue mau nolak—Wooyoung pengen tidur sendirian. Lo mau maksa dia? Gue juga mau nemenin dia, tapi ada kalanya dia butuh waktu sendiri. Mungkin dia mau nangis—dan itu semua manusiawi."

San hendak protes, tetapi melihat Juyeon bersikeras, membuatnya diam.

Masalahnya, yang terluka bukan cuma Wooyoung dan Yeosang." Juyeon menepuk lututnya pelan, tanpa memutus tatapan. "Lo juga pasti kepikiran... karena Yeonjun dibunuh, sama kayak..."

"Gue gak mau bahas Arin." San langsung memundurkan tubuh untuk membuatnya bersandar. Sengaja membuat batasan dari ucapannya. "Dan gue gak apa-apa."

Juyeon tersenyum miris melihatnya. "Lo cuma berusaha buat gak rasain apa-apa."

"Kalau gak ada yang matiin perasaan, nanti hancur semua." San berucap, sebelum meraih bantal di sampingnya, untuk memeluknya. "Di saat Hongjoong habis-habisan di luar sana, biar gue jaga kewarasan yang ada di rumah."

"Terus... kalau lo yang hilang kewarasan...?"

Dengan sulit San menelan ludahnya, namun untuk menatap ke arah Juyeon, sebelum berucap. "Tahun 2021, BoNyok gue meninggal. Tahun 2022, mantan gue meninggal... tapi gue baru tau di 2023. Lo pikir... gimana caranya kewarasan gue masih nyisa? Gak ada."

Dari kalimatnya, ah tidak, hanya dari tatapannya saja sudah terlihat menyakitkan. Bahkan sangat.

Sehingga di titik itu, Juyeon tak peduli dengan umpatan. Juyeon hanya naik ke sisi lain kasur, untuk merebut bantal dari pelukan San, dan kemudian membaringkan diri dan kepalanya menggunakan itu.

"Gue nginep." Juyeon langsung memeluk tubuhnya sendiri dan memejamkan mata. "Besok Senin, gue ada urusan di kampus sama Yunho, buat bantu Hongjoong. Tapi paginya, lo tetep harus ikut sama gue. Buat cek kaki lo."

San sontak berdecak, bernada marah. "Gue gak perlu diperhatiin—"

"Kalau lo gak diperhatiin, nanti yang merhatiin anak rumah lo siapa? Hm?" Juyeon langsung melirik ke arahnya, membuka sebelah mata, dan mengumpat. "Tolol. Syukur gue gak serumah, jadi yang urus lo jelas bukan orang rumah."

"Tapi gue—"

"Lo kapan mau kuliah?" Juyeon memotong, mengganti topik pembicaraan. "Gue bantu—walau kita harus bolak-balik pakai taksi, gak masalah. Gue banyak duit karena Ovu."

San saat itu diam tak membalas.

Tatapannya hanya terarah pada Juyeon, yang masih memejamkan mata, sembari menyamankan dirinya samar. Yang mana membuat San sampai berpikir; saat dirinya harus menjadi tumpuan bagi para penghuni rumah, harus menjadi yang paling normal agar mereka tak salah langkah, apakah akan baik-baik saja jika dia juga... menumpukan diri pada seseorang?

✔️ OCTAGON 2: SEX, PARTY AND ROCK 'N ROLL (ATEEZ BXB SMUT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang