Dengan tak percaya, Wooyoung benar-benar ternganga atas bagaimana San telah membayar sebuah mobil, begitu saja, seperti tanpa beban. Padahal Wooyoung melihat bahwa laki-laki itu datang tanpa gambaran sama sekali. Hanya bertanya, asal, lalu menyelesaikannya secepat kilat.
Secepat itu.
Setelah menandatangi sesuatu—Wooyoung tak tahu apa itu, namun membuatnya ternganga—diliriknya San yang duduk di sampingnya. San segera mengembalikan kartunya ke dalam dompet, lalu melirik Wooyoung, untuknya mengangkat satu alis.
Wooyoung memiliki satu yang dipikirkannya. "Lo awalnya... gak niat beli mobil... ya?"
"Niat, kok." San melipat dompetnya. "Tau sendiri gue gak punya kendaraan lagi."
"Iya, tapi lo bahkan gak tau mau beli mobil apa..." Wooyoung tercicit. "Lo nanya asal... terus ambil gitu aja? Dua ratus sembilan puluh juta? Langsung?"
"Memang udah ada budget buat mobil—udah lama gue pengen." San menjawab tanpa beban, memasukan dompetnya kembali ke dalam saku. "Lagipula ini bukan mobil lima ratus ke atas. Santai aja. Gue cuma nyari kaki."
"Santai..." Wooyoung mengangguk-angguk, tetapi melihatnya dengan ngeri. "Gak, deh. Gue gak bisa relate. Nanti duit warisan lo habis, gimana?"
"Aman." San menatap ke depan, pada sosok lelaki yang kembali mendekat padanya sembari tersenyum. "Gaji kemarin dari Checkmate pun gede."
Tak ada jawaban dari Wooyoung yang hanya memperhatikan bagaimana prosesnya berlangsung. Dari bagaimana San mendengarkan lelaki di hadapannya bicara, menjelaskan, lalu sampai ke serah terima kuncinya. Tentu, semua terjadi setelah menguji mobil, bahwa mobil baru itu tanpa cacat sama sekali.
Dibantu, untuk diurus sampai luar, hingga kini, di sinilah Wooyoung juga San berada. Wooyoung yang mengenakan sabuk pengaman lalu menggenggamnya kuat, sedangkan San di depan kemudi, mengemudikan mobil tersebut dengan santai. Di jalanan, berbaur dengan banyak kendaraan lain, tampak sangat biasa.
Maka dari itu, Wooyoung penasaran. "Kenapa... gak dari dulu... pakai mobil kalau memang bisa...?"
San semula tak menjawab.
Sehingga Wooyoung hanya mengalihkan tatapan.
Di mana kemudian, barulah, San mengatakannya. "Orang tua gue kecelakaan pakai mobil gue."
Sontak saja, Wooyoung langsung menoleh untuk melihatnya.
"Sedangkan mobil bokap, masih ada kok di rumah. Di garasi. Aman." San melanjutkannya, dengan lurus, menatap ke depan. "Tapi gak akan pernah gue pakai seumur hidup. Biar, jadi kenangan."
"San..."
"Gue mau rumah gue gak ada perubahan." ucap San, pelan tapi lurus. "Gue mau suasananya sama persis kayak sebelum mereka pergi. Jadi, gue gak mau tinggal di sana lagi. Gue cuma mau datang, saat gue rindu."
Secara hati-hati, Wooyoung mencoba menyentuh paha San, untuk mengusapnya pelan. Hal itu mampu membuat San agak melirik, di mana Wooyoung langsung tersenyum lembut padanya, seketika.
"San, lo pasti kuat."
San tak membalas reaksi, namun dengan gumaman pelan. "Kita sama-sama dua manusia yang pernah patah tulang dan ditinggal seseorang dengan kematian. Menurut lo, kenapa bisa?"
:-:-:-:-:
Pintu yang diketuk beberapa kali itu akhirnya terbuka.
Lino agak terkejut, karena Seonghwa pulang, namun dengan Hongjoong yang berdiri tepat di sampingnya. Terlihat dengan raut wajah yang berbeda, tetapi Lino tak bisa menebaknya. Sampai Lino sendiri kesulitan untuk memberikan ekspresi seperti apa terhadap keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️ OCTAGON 2: SEX, PARTY AND ROCK 'N ROLL (ATEEZ BXB SMUT)
Fiksi PenggemarOctagon dan The Overload menyelam pada dunia di dalam lingkaran dalam yang lebih luas. Semua berpusat pada sex, pesta dan rock n' roll. Walau sebenarnya, semua adalah tentang kekuasaan. Starts : January 18th, 2023